Senin, 22 Maret 2010

PETA POLITIK SASTRA INDONESIA (1908-2008)

oleh Asep Sambodja
Program Studi Indonesia FIB UI  
Prolog
Bagaimanakah  peta  politik  sastra  Indonesia  selama  100  tahun  (1908-2008)
belakangan  ini? Dalam makalah  ini  akan dijelaskan  secara deskriptif peta politik  sastra
Indonesia dalam satu abad kebangkitan nasional. Kita tahu bahwa perkembangan politik
di  Indonesia  sangat  berpengaruh  dalam  perkembangan  sejarah  sastra  Indonesia.  Siklus
perubahan  politik  20  tahunan, misalnya,  bisa  terbaca  dalam  penyebutan  angkatan  yang
diberikan kritikus sastra H.B. Jassin. 
Di  masa  kolonialisme,  pengaruh  itu  tampak  dalam  karya  sastra,  baik  yang
memiliki  semangat  antikolonialisme  di  zaman  Belanda  maupun  berkembangnya
simbolisme di zaman  Jepang akibat  situasi yang  sangat  represif. Di masa pemerintahan
Soekarno,  perbedaan  ideologi  yang  demikian  tajam nasionalisme,  agama,
komunisme juga berdampak  langsung  terhadap perkembangan  sastra  Indonesia,  yakni
dengan  merasuknya  ideologi  dalam  diri  sastrawan  maupun  dalam  karya  sastra  yang
dihasilkannya.  Hal  ini  dapat  terbaca  dengan  jelas  dalam  polemik  antara  sastrawan
Lembaga  Kebudayaan  Rakyat  (Lekra)  yang  mengusung  nilai-nilai  realisme  sosialis
dengan  sastrawan  Manifes  Kebudayaan  (Manikebu)  yang  mengusung  nilai-nilai
humanisme universal. 
Di  masa  pemerintahan  Soeharto,  polemik  antara  sastrawan  Manikebu  dengan
sastrawan Lekra  sedikit menyusut dalam paruh  pertama masa pemerintahannya, namun
semakin  mencuat  di  paruh  kedua  masa  pemerintahan  Soeharto.  Indikasinya  adalah
munculnya  polemik  hadiah  Magsaysay  pada  1995,  saat  sastrawan  Lekra,  Pramoedya
Ananta Toer, memperoleh hadiah tersebut. Polemik itu dimotori oleh Taufiq Ismail, salah
satu ujung tombak sastrawan Manikebu. 
Pemerintahan  Soeharto  yang  cenderung  sentralistis  juga menimbulkan  reaksi  di
kalangan  sastrawan,  yakni  dengan munculnya  suara-suara  revitalisasi  sastra  pedalaman
yang menolak Jakarta sebagai pusat. Selain  itu, kecenderungan apolitis yang diterapkan
pemerintah Soeharto  juga direspons dengan gagasan  sastra kontekstual yang disuarakan
Arief Budiman dan Ariel Heryanto. 
Kini,  di  era  reformasi,  sastrawan  Indonesia  juga  merasakan  adanya  kebebasan
berpendapat, kebebasan berekspresi, dan lahirnya semangat untuk menghargai perbedaan
(multikulturalisme).  Jiwa bhinneka  tunggal  ika  yang  terdapat  dalam karya  sastra klasik
Indonesia  abad  ke-14,  kakawin  Sutasoma  karya  Empu  Tantular,  seperti  dibangkitkan
kembali dalam kehidupan berbangsa dan berbudaya di Indonesia.  
Pendahuluan 
Dalam sejarah sastra  Indonesia, selalu ada dua kutub yang saling bersinggungan
dan bernegosiasi. Relasi kuasa antara pihak yang merepresi dengan pihak yang  tertekan
senantiasa menimbulkan gejolak, konflik, dan perubahan. Penelitian ini dibatasi pada satu
abad kebangkitan nasional Indonesia, yakni dimulai pada 1908 saat kesadaran berbangsa 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   2  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
mulai tumbuh di kalangan pemuda-pemuda Indonesia yang mendirikan organisasi Boedi
Oetomo hingga 2008, yang bertepatan dengan satu abad perjalanan bangsa Indonesia. 
Dalam  penelitian  terdahulu,  saya  telah  menyinggung  adanya  dua  kiblat  dalam
sastra  Indonesia,  yakni  sastra  Indonesia  yang  masih  memperlihatkan  pengaruh
Hindu/Budha yang  sangat kuat, yang  terpusat di  Jawa dan  sastra  Indonesia yang masih
memperlihatkan pengaruh Islam yang sangat kuat, yang berpusat di Sumatera (Sambodja,
2005:  174).  Kedua  kiblat  itu  bisa  menjadi  rujukan  dan  runutan  berkaitan  dengan
penentuan  awal kelahiran  sastra  Indonesia. Kesimpulan  itu  juga diperkuat dengan hasil
penelitian  Kratz  (1987)  yang  memperlihatkan  bahwa  pada  1983,  sastrawan  Indonesia
yang menghidupkan  denyut  nadi  sastra  Indonesia  banyak  berasal  dari  kedua  kiblat  itu,
yakni Jawa (52,8%) dan Sumatera (30,3%).  
Saya  tidak mempersoalkan benturan dari kedua kiblat  itu, karena masing-masing
memiliki kekhasannya tersendiri. Karya-karya sastra Jawa lebih banyak terpengaruh oleh
karya  sastra  India  (Zoetmulder,  1985). Naskah  Jawa  tertua  yang  puitis,  Arjunawiwaha
karya  Empu  Kanwa,  misalnya,  terbaca  adanya  pengaruh  Mahabarata  karya  Vyasa.
Sementara karya sastra Melayu abad ke-16 dan 17 lebih banyak dipengaruhi karya sastra
Arab  dan  Persia  (Hadi,  1995).  Ajaran  tasawuf  dalam  karya-karya  Hamzah  Fansuri,
misalnya dalam  Sidang Ahli Suluk , memperlihatkan pengaruh pemikiran sufi sebelum
abad  ke-13,  seperti  Al  Hallaj,  Imam  Al-Ghazali,  dan  Ibn  Arabi  (Hadi,  1995:  21).
Hamzah Fansuri dibunuh dan karyanya diberangus atas anjuran ulama-ulama Aceh yang
berafiliasi dengan pusat kekuasaan.
Dalam pembacaan Sikorsky (1970), karya sastra Jawa yang lebih modern, seperti
karya  Ronggowarsito,  yang  menggunakan  bahasa  Jawa,  seharusnya  diperhatikan  oleh
penulis  sejarah  sastra  Indonesia,  karena  message  yang  disampaikan  pengarang  masih
relevan bahkan hingga hari ini. 
Sikorsky  juga menilai, selama  ini pakar sastra seperti A. Teeuw dan H.B. Jassin
menggolongkan  sejarah  sastra  Indonesia  berdasarkan  bahasa  yang  digunakan  dalam
penulisan  karya  sastra,  yakni  bahasa  Melayu  tinggi.  Penggolongan  semacam  itu
menafikan karya sastra lainnya yang menggunakan bahasa Melayu rendah, seperti karya
Semaun  dan Mas Marco  Kartodikromo.  Kedua  nama  tersebut  tidak  tercantum  dalam
khasanah  sastra  Indonesia  karena  dianggap meracuni masyarakat,  berbau  komunis,  dan
mengandung  pornografi.  Padahal,  penilaian  itu menggunakan  perspektif  atau  kacamata
kolonial  Belanda.  Kalau  menggunakan  perspektif  lain,  maka  yang  tampak  adalah
pencerahan,  yakni  pemikiran  baru  yang  keluar  dari  batas-batas  konvensi,  yang  berisi
semangat Indonesia, karena mengandung antiimperialisme atau antikolonialisme.
Penggolongan  sastra  Indonesia  berdasarkan  penggunaan  bahasa  Melayu  tinggi
tidak  saja menafikan  karya  sastra  yang menggunakan  bahasa Melayu  rendah,  tapi  juga
menafikan  karya  sastra  yang menggunakan  bahasa  daerah. Betapa  banyak  karya  sastra
yang tidak termasuk dalam khasanah sastra Indonesia hanya karena menggunakan bahasa
daerah,  seperti  karya Ronggowarsito, misalnya,  padahal message  karya Ronggowarsito
itu  tetap  abadi  hingga  kini.  Semangat  Indonesianya,  yang  antifeodalisme,  sangat
kentara  dalam  karya-karyanya.  Sayang  kalau  karya  sastra  produk  anak  bangsa  yang
berbobot  seperti  itu  luput  dari  perhatian  para  ahli  sastra  atau  penulis  sejarah  sastra
Indonesia. 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   3  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
Sebelum 1908, terjadi benturan antara pihak keraton dengan pihak di luar keraton
(Mohamad, 2003). Selain itu, antara sastrawan dan ulama sufi dengan kaum puritan juga
terjadi gejolak dan benturan sebagaimana dialami Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar.
Bagaimana dengan relasi kuasa yang ada pada periode 1908-2008?
Kita  tahu  bahwa  pada  periode  1908-1945  adalah  masa  penjajahan  yang
memberangus kemerdekaan bangsa  Indonesia, baik di bawah kolonial Belanda maupun
Jepang  (1942-1945).  Jelas, bahwa ketegangan yang  terjadi adalah antara pihak kolonial
dengan  pihak  inlander  (pribumi). Ketika  berada  di  bawah  kolonial Belanda,  sastrawan
Indonesia memperjuangkan kemerdekaan dengan menyuarakan antiimperialisme, dengan
menggunakan  bahasa Melayu  Rendah bahasa  yang  tidak  dikehendaki  Balai  Pustaka
saat  itu  (Sikorsky,  1970).  Sastrawan  Indonesia  yang  menerbitkan  karyanya  di  Balai
Pustaka,  penerbit  milik  pemerintah  kolonial  Belanda,  mengalami  nasib  penyensoran,
karena  naskah  yang  diterbitkan  tidak  boleh  bertentangan  dengan  kebijakan  pemerintah
Belanda. Akibatnya,  isi novel Salah Asuhan karya Abdul Muis, misalnya, berbeda  jauh
dengan  isi  naskah  aslinya. Begitu  juga  nasib  novel  Belenggu  karya Armyn  Pane  yang
ditolak  oleh  penerbit  Balai  Pustaka.  Sementara  novel-novel  yang  terbit  di  luar  Balai
Pustaka  dilecehkan  dengan  dicap  sebagai  bacaan  liar ,  novel  picisan ,  dan  dianggap
bisa  meracuni masyarakat .
Ketika  berada  di  bawah  pemerintah  kolonial  Jepang,  penyensoran  tetap  terjadi
bahkan makin menjadi. Sastrawan Indonesia dilarang menulis dalam bahasa Belanda atau
menyinggung  hal-hal  yang  berbau  Barat.  Di  satu  sisi,  pelarangan  ini  membatasi
kreativitas  sastrawan  saat  itu,  tapi  di  sisi  lain,  perkembangan  bahasa  Indonesia
mengalami  pertumbuhan  yang  sangat  cepat  karena  menjadi  bahasa  utama  dalam
komunikasi, pendidikan, dan sastra (Rosidi, 1995). Keimin Bunka Sidhoso (Kantor Pusat
Kebudayaan) menjadi  alat  represi  pemerintah  Jepang  yang  sangat  efektif. Lembaga  ini
membatasi  ruang  gerak  seniman  dan  sastrawan,  karena  diarahkan  untuk menulis  sastra
propaganda demi kemenangan Asia Timur Raya dan antiAmerika dan sekutu-sekutunya.
Seniman  yang  mencoba  menyuarakan  pikiran  dan  perasaannya  sesuai  dengan  hati
nuraninya sendiri,  seperti yang disuarakan Cak Durasim, maka berujung pada kematian
(Poeponegoro, 1984; Wasono, 2007).
Sejarah  kemudian  mencatat  bahwa  Polemik  Kebudayaan  yang  dipicu  Sutan
Takdir  Alisjahbana  dan  polemik  antara  sastrawan  Lekra  dengan  sastrawan  Manifes
Kebudayaan  banyak  mewarnai  perjalanan  sastra  Indonesia.  Polemik  Kebudayaan
melahirkan generasi Surat Kepercayaan Gelanggang dan kelompok Manifes Kebudayaan.
Di samping itu, polemik antara Lekra dengan Manikebu tidak hanya terjadi pada 1960-an
(menjelang naiknya Soeharto ke puncak kekuasaan), melainkan juga terjadi pada 1990-an
(menjelang jatuhnya Soeharto dari puncak kekuasaan).  
Perspektif Baru
Terbitnya dua buku Ernst Ulrich Kratz, A Bibliography of  Indonesian Literature
in  Journals Bibliografi Karya  Sastra  Indonesia  dalam Majalah: Drama, Prosa, Puisi
(1988) dan Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX (2000) telah memberikan
perspektif  baru  bagi  pembacanya  bahwa  sejarah  sastra  Indonesia  harus  selalu  ditulis
ulang, terus-menerus, dan diperbaiki dari tahun ke tahun. Demikian pula dengan terbitnya 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   4  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
buku Kalangwan:  Sastra  Jawa Kuno  Selayang Pandang  (1995)  karya  P.J. Zoetmulder
dan buku Yang  Indah, Berfaedah, dan Kamil: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19
(1998) karya V.I. Braginsky.
Setidaknya  ada  dua  alasan  utama  kenapa  sejarah  sastra  Indonesia  harus  selalu
diperbaiki. Pertama, sesuai dengan perkembangan waktu perkembangan zaman, jumlah
sastrawan dan karya  sastra yang dihasilkan  akan  selalu bertambah. Semakin  lama  akan
semakin  banyak  jumlahnya.  Kedua,  penulisan  sejarah  sastra  seringkali  hanya
memperhatikan  sastra  kanon,  sehingga  karya  sastra  yang  muncul  pada  masa  yang
bersamaan hanya menjadi fosil atau artefak yang tidak diperhatikan.
A.  Teeuw  dalam  Kratz  (1988)  mengatakan  bahwa  kanonisasi  dalam  sastra  itu
sangat penting dan berguna, namun  sekaligus  juga  sangat berbahaya, karena kanonisasi
itu  akan  menimbulkan  kecenderungan  untuk  memfosilkan  sastra  dan  apresiasi  sastra
dalam masyarakat  serta  akan mencegah  orang  untuk membaca  dengan  perspektif  baru,
untuk membuat penemuan-penemuan baru, dan membentuk pandangan-pandangan segar.
Dalam  buku  A  Bibliography  of  Indonesian  Literature  in  Journals  itu,  Kratz
mencatat  ada  27.078  judul  karya  sastra  yang  terbit  di  majalah  pada  1922-1982  yang
ditulis oleh 5.506 sastrawan. Dengan rincian, puisi sebanyak 16.507  judul, prosa 10.389
judul, dan drama 182 judul. Dalam kurun waktu 60 tahun, jumlah sastrawan berikut karya
sastra  yang  berbahasa  Indonesia  tercatat  dalam  jumlah  yang  fantastis.  Namun,  buku
sejarah sastra Indonesia yang ditulis melalui proses kanonisasi yang rumit karena tidak
saja  ditentukan  oleh  faktor  kesusastraan  dan  kebudayaan, melainkan  juga  dipengaruhi
faktor ekonomi, sosial, dan bahkan politik itu tidak bisa menampung semuanya.
Sementara buku Kratz yang lain, Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad
XX, memperlihatkan bahwa sastrawan dan kritikus sastra Indonesia juga sudah bertahun-
tahun memikirkan  dan membicarakan  kesusastraan  dan  kebudayaan  Indonesia. Banyak
hal  yang  dibicarakan  dalam  buku  ini,  namun  yang menonjol  adalah  sejarah  pemikiran
para  sastrawan  dan  budayawan  Indonesia mengenai  sastra  dan  budaya  Indonesia  pada
1928-1997.  Beragam  pemikiran  yang  dihimpun  Kratz  tersebut  memperlihatkan
beragamnya  visi  atau  perspektif  yang  bisa  digunakan  dalam  melihat  suatu  peristiwa
sejarah.
Sementara  empat  buku  Keith  Foulcher,  yakni  Sumpah  Pemuda:  Makna  dan
Proses Penciptaan atas Sebuah Simbol Kebangsaan  Indonesia  (2000), Pujangga Baru:
Kesusasteraan dan Nasionalisme di  Indonesia 1933-1942  (1991), Angkatan 45: Sastra,
Politik Kebudayaan dan Revolusi Indonesia (1994), dan Social Commitment in Literature
and  The  Arts:  The  Indonesian  Institute  People s  Culture  1950-1965  (1986) saya
urutkan  secara  kronologis  berdasarkan  topik  yang  dibicarakan,  dan  bukan  berdasarkan
tahun  terbitnya memperlihatkan  intensitasnya  dalam  membaca  sejarah  nasional
Indonesia, khususnya yang terkait dengan kesusastraan dan kebudayaan Indonesia. 
Model  penulisan  sejarah  semacam  ini,  yang  mengaitkan  sastra  dengan  faktor
sosial politik, yang  juga menjadi model penulisan Harry Aveling, misalnya dalam buku
Rahasia  Membutuhkan  Kata:  Puisi  Indonesia  1966-1998  (2003),  sedikit  banyak
mempengaruhi pembahasan mengenai peta politik sastra Indonesia (1908-2008) ini.
Dalam Keith  Foulcher  (1991) misalnya,  ia  tidak  hanya membahas  karya  sastra
yang  terbit pada masa 1930-an,  tetapi  juga membahas panjang  lebar mengenai polemik
kebudayaan yang  terjadi pada pertengahan 1930-an  sekaligus  situasi  sosial politik pada 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   5  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
saat itu. Hal ini membuktikan bahwa sastrawan berikut karya sastranya tidak terasing
dari  persoalan  yang  ada  di  masyarakatnya.  Bahkan  terjadi  interaksi  secara  langsung
antara sastrawan, karya sastra, realitas kehidupan, dan masyarakat.
Sastrawan  menciptakan  karya  sastra  berdasarkan  kenyataan  yang  dilihat  dan
dialami  sesuai  dengan  visinya. Dengan  kata  lain,  sastrawan memotret  kenyataan  yang
diketahuinya dan kemudian menuangkannya dalam bentuk karya sastra. Analoginya, bila
wartawan  memotret  kenyataan  menjadi  berita,  maka  sastrawan  memotret  kenyataan
menjadi  cerita. Baik berita yang ditulis wartawan maupun  cerita yang ditulis  sastrawan
akan diwarnai visi penulisnya. Dan itu sah-sah saja. 
Sebuah  fakta  akan  menjadi  berita  yang  berbeda-beda  jika  ditulis  oleh  para
wartawan yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda pula, misalnya, latar belakang
agama,  suku  (etnik),  pendidikan,  ideologi,  partai  politik,  komunitas,  gender,  dan
sebagainya.  Bagaimana  bila  fakta  yang  sama  itu  ditulis  oleh  para  sastrawan?  Tentu
hasilnya  akan  lebih mencengangkan, karena  setiap  sastrawan memiliki  licentia poetica,
semacam hak prerogatif untuk menggunakan metafora yang khas, personal, bahkan bebas
melakukan penyimpangan terhadap konvensi bahasa yang ada.
Claire Holt (2000) mengatakan, satu abad hanyalah sebuah periode singkat dalam
sejarah  sebuah  peradaban. Perlu  dicatat  di  sini  bahwa  dalam  rentang waktu  1908-2008
telah  terjadi sebuah peristiwa politik yang sangat penting bagi bangsa Indonesia yakni
peristiwa 30 September 1965 yang dampaknya masih terasa hingga sekarang. Misalnya,
keluarga  anggota PKI yang  ikut menjadi korban dalam peristiwa  itu, meskipun mereka
tidak  berhubungan  secara  langsung  dengan  PKI,  belum  mendapatkan  keadilan.  Nama
baik mereka  belum  direhabilitasi,  apalagi mendapat  kompensasi karena  selama  Orde
Baru mereka dibatasi ruang geraknya untuk mencari nafkah..
Penelitian  ini akan difokuskan ke persoalan sastra dan budaya, yang secara tidak
langsung  terseret ke persoalan politik karena sastrawan-sastrawan Lekra menggaungkan
politik  adalah  panglima ,  terutama  setelah  Presiden  Soekarno  mengumumkan  Dekrit
Presiden  5  Juli  1959,  tentang  Demokrasi  Terpimpin,  yang  antara  lain  memberikan
wewenang yang sangat besar pada Lekra underbouw PKI, salah satu partai pendukung
kebijakan-kebijakan Soekarno untuk mengembangkan kebudayaan.  
Polemik Kebudayaan
Ada  pendapat  yang  mengatakan  bahwa  semua  perbuatan  manusia  pasti
dipengaruhi  pikiran. Dan,  kita  tahu  bahwa  tidak  ada  yang  baru  sama  sekali  di  bawah
kolong  langit  ini. Oleh karena  itu, pengaruh pemikiran sebelumnya pasti kita  lihat pada
semua pemikiran yang berkembang sekarang  ini (Kuntowijoyo, 2003: 189-192). Roland
N. Stromberg, dalam Kuntowijoyo (2003), mendefinisikan sejarah pemikiran  (history of
thought, history of ideas, atau intellectual history) sebagai the study of the role of ideas in
historical  events  and  process. Oleh  karenanya,  sejarah manusia  tidak  dapat  lepas  dari
proses perkembangan pemikiran.
Sutan  Takdir  Alisjahbana,  yang  pada  1935  berusia  27  tahun,  menghentak
kalangan  intelektual Indonesia dengan pemikirannya yang radikal melalui sebuah artikel
berjudul  Menuju  Masyarakat  dan  Kebudayaan  Baru  yang  dimuat  di  majalah  yang
didirikan  dan  dipimpinnya  sendiri, Pujangga Baru. Dalam  tulisannya  itu, Sutan Takdir 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   6  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
Alisjahbana membedakan kebudayaan praIndonesia (yang berlangsung hingga akhir abad
ke-19) dan kebudayaan Indonesia (yang dimuali pada awal abad ke-20).
Menurut  Sutan  Takdir  Alisjahbana,  perjuangan  Pangeran  Diponegoro,  Teuku
Umar,  Imam  Bonjol,  dan  lain-lain  bukanlah  untuk  Indonesia.  Demikian  pula  dengan
pembuatan Candi Borobudur dan Prambanan yang tidak ada kaitannya dengan Indonesia.
Semuanya itu termasuk dalam kebudayaan praIndonesia.
Kebudayaan  Indonesia, menurut Sutan Takdir Alisjahbana, bukanlah sambungan
kerajaan  Mataram,  Sriwijaya,  atau  Majapahit.  Kebudayaan  Indonesia  yang  dimaksud
Sutan Takdir Alisjahbana adalah kebudayaan yang terlepas dari kebudayaan praIndonesia
dan harus berorientasi ke Barat. Karena, masyarakat  Indonesia yang  statis harus diubah
menjadi  dinamis. Untuk  itu,  kita  harus mencontoh  negara-negara  yang  dinamis,  yakni
negara-negara Barat. Dan,  sejatinya,  kaum  terpelajar  Indonesia  generasi  pertama  dapat
berorganisasi, berpolitik, mendirikan Budi Utomo pun karena pendidikan Barat.
Semangat  muda  yang  dipancarkan  Sutan  Takdir  Alisjahbana  itu  sebenarnya
mengikuti  jejak pendahulunya yang menggelar kongres pemuda pada 28 Oktober 1928.
Dalam  kongres  itu, Muhammad Yamin,  yang  saat  itu  berusia  24  tahun, menjadi  tokoh
kunci  kongres  tersebut,  dan  dialah  yang  menyusun  komposisi  dari  resolusi  yang
dihasilkan  kongres,  yang  kita  kenal  sebagai  Sumpah  Pemuda  (Foulcher,  2000:  8).
Sumpah Pemuda yang disusun Muhammad Yamin berbunyi demikian. 
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe
bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. 
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe
berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. 
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng
bahasa persatoean, bahasa Indonesia. 
Resolusi  Sumpah  Pemuda  itu  membawa  perubahan  besar  dalam  kehidupan
berbangsa. Karena,  sebelum kongres menghasilkan  resolusi  itu,  sebagian besar pemuda
yang berpendidikan Barat berbicara dalam bahasa Belanda. Setelah peristiwa itu, mereka
dengan  bangga  menggunakan  bahasa  Indonesia,  karena  menambah  rasa  nasionalisme
mereka.
Gagasan yang dilontarkan Sutan Takdir Alisjahbana di atas mendapat reaksi dari
rekan  dan  seniornya.  Sanusi  Pane,  yang  saat  itu  berusia  30  tahun,  tidak  sependapat
dengan Sutan Takdir Alisjahbana. Ia tidak setuju dengan pembagian sejarah semacam itu.
Menurut  Sanusi  Pane,  pada  zaman Majapahit,  Pengeran  Diponegoro,  Borobudur,  dan
lain-lain  sudah mempunyai ciri keindonesiaan, yang belum ada hanyalah ciri natie atau
nation  (bangsa)  Indonesia. Zaman  sekarang,  kata Sanusi Pane, merupakan  terusan  dari
zaman dahulu.  Ia  juga menyarankan agar kebudayaan  Indonesia menyatukan  Faust
yang  didominasi  pemikiran,  akal  (Barat)  dan  Arjuna yang  didominasi  perasaan,
nurani (Timur).
Sementara  Poerbatjaraka  sependapat  dengan  Sanusi  Pane.  Menurutnya,  tidak
mungkin kita lepas dari masa lalu. Untuk membangun kebudayaan Indonesia, kita harus
mengetahui jalan sejarah dari dulu sampai sekarang. Kita justru membangun masa depan 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   7  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
dengan  bertitik  tolak  dari  masa  lalu.  Poerbatjaraka  mengingatkan,  kita  jangan  mabuk
kebudayaan  kuno,  tapi  jangan  juga  mabuk  kebudayaan  Barat.  Yang  ideal  adalah  kita
mengetahui  kedua  kebudayaan  itu,  Barat  dan  Timur,  dan  memilih  yang  baik  dari
keduanya untuk membangun kebudayaan Indonesia (Kartamihardja, 1998).
Saya sendiri cenderung sependapat dengan Sanusi Pane dan Poerbatjaraka, karena
peradaban yang  telah dibangun secara perlahan oleh nenek moyang kita menjadi runtuh
dan  tak berarti apa-apa  jika kita mengikuti pola pikir Sutan Takdir Alisjahbana. Dengan
memutuskan  mata  rantai  sejarah,  Sutan  Takdir  Alisjahbana  seolah-olah  menafikan
kekayaan  rohani dan kekayaan batin bangsa kita yang  terekam dan  tercatat dengan baik
dalam karya sastra klasik yang diciptakan sejak abad ketujuh masehi (Sambodja, 2005:
159-177).  Meskipun  demikian,  kita  wajib  bersyukur  dengan  adanya  pemikiran  Sutan
Takdir Alisjahbana seperti itu, yang menjadi shock therapy bagi bangsa Indonesia untuk
lebih serius memikirkan masa depan kebudayaannya. Sejak Sumpah Pemuda 1928, peran
pemuda  dalam  percaturan  politik  dan  kebudayaan  pada  umumnya  memang  kian
menonjol.
Pada tahun 1950, tepatnya 18 Februari 1950, seniman-seniman muda yang terdiri
dari Chairil Anwar  (28  tahun), Asrul Sani (24  tahun), Rivai Apin  (23  tahun), M. Balfas
(24 tahun), M. Akbar Djuhana (26 tahun), Mochtar Apin (25 tahun), Henk Ngantung (23
tahun),  dan  Baharudin  (39  tahun)  mengeluarkan  pernyataan  Surat  Kepercayaan
Gelanggang  untuk menyikapi persoalan kebudayaan sekaligus memperlihatkan orientasi
kebudayaan mereka, yang memperkuat bahkan mengembangkan pendapat Sutan Takdir
Alisjahbana  sebelumnya.  Bahwa  orientasinya  bukan  ke  Barat  saja,  tetapi  mendunia
(Ismail, 1995). Adapun bunyi selengkapnya pernyataan itu adalah sebagai berikut. 
Surat Kepercayaan Gelanggang 
Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan
ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang-
banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari
mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Ke-Indonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit yang sawo-matang,
rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan,
tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan
pikiran kami.
Kami tidak akan memberikan suatu kata-ikatan untuk kebudayaan
Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak
ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat untuk
dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru
yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai
rangsang suara yang disebabkan oleh suara-suara yang dilontarkan dari
segala sudut dunia dan yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk
suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha yang mempersempit dan
menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran-nilai.
Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai
usang yang harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat bahwa revolusi
di tanah air kami sendiri belum selesai. 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   8  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok
ditemui itu ialah manusia. Dalam cara kami sendiri, membahas dan
menelaahlah kami membawa sifat sendiri.
Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah
penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara
masyarakat dan seniman. 
Enam bulan setelah lahirnya Surat Kepercayaan Gelanggang, tepatnya 17 Agustus
1950,  lahir  sebuah  organisasi  yang  concern  terhadap  bidang  budaya.  Organisasi  itu
bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Penggagasnya adalah D.N. Aidit, Njoto
(Iramani), M.S. Ashar,  dan A.S. Dharta yang  saat  itu  berusia  27  tahun. Lekra  adalah
sebuah  gerakan  kebudayaan  yang  bersifat  nasional  dan  kerakyatan,  yang  didalamnya
memang  ada  orang-orang  yang menjadi  anggota  PKI,  tetapi  sebagian  besarnya  bukan.
Lekra, sebagaimana terlihat pada Mukaddimahnya, tidak mengazaskan kegiatannya pada
pandangan kelas dan atau Marxisme-Leninisme (Ajoeb, 2004:7).
Setelah  terbit  Dekrit  Presiden  tahun  1959,  Lekra  banyak  mewarnai  kehidupan
kebudayaan  di  Indonesia,  termasuk  sastra  Indonesia  (Eneste,  1988:  90). Dalam  sidang
pleno  Pimpinan  Pusat  Lekra  pada  Juli  1961,  semboyan  politik  adalah  panglima
diterima  sebagai  azas  kerja  kreatif,  namun  bukan  sebagai  instruksi  atau  keharusan
(Ajoeb, 2004: 14).
Joebaar Ajoeb menjelaskan, Indonesia sebagai bekas daerah  jajahan memerlukan
semboyan  politik  adalah  panglima ,  karena  pada  1950-an  ada  semacam  propaganda
yang hendak mengusir atau menjauhkan  seniman dan  sastrawan keluar dari gelanggang
politik. Propaganda  itu, misalnya, menyebut politik hanya menjadi urusan orang politik,
politik  itu  kotor,  seniman  dan  sastrawan  itu  suci,  tidak  perlu  ikut-ikutan  berpolitik,
termasuk  dalam  berkarya.  Lekra  menentang  propaganda  yang  bertentangan  dengan
semangat Kebangkitan Nasional (Ajoeb, 2004: 16-17).
Ada  baiknya  kita  baca  dengan  teliti Mukaddimah  Lekra  di  bawah  ini.  Dalam
Mukaddimah  ini  Lekra  tidak  saja  mengimbau  anggotanya,  tetapi  juga  mengimbau
seniman-seniman  lain  di  luar Lekra. Atas  dasar  apa Lekra mengurusi/mencampuri  atau
merecoki  seniman  di  luar  Lekra?  Imbauan  itu misalnya  terbaca  pada  kalaimat,  Lekra
menganjurkan kepada anggota-anggotanya, tetapi juga kepada seniman-seniman, sarjana-
sarjana, dan pekerja-pekerja kebudayaan di  luar Lekra, untuk secara dalam mempelajari
kenyataan, mempelajari kebenaran yang hakiki dari kehidupan, dan untuk bersikap setia
kepada kenyataan dan kebenaran.

Kemudian, ada penekanan  lebih  lanjut,  Di  lapangan kesenian Lekra mendorong
inisiatif, mendorong  keberanian  kreatif,  dan Lekra menyetujui  setiap  bentuk,  gaya, dan
sebagainya,  selama  ia  setia  kepada  kebenaran  dan  selama  ia mengusahakan  keindahan
artistik yang setinggi-tingginya.

Pertanyaannya, kebenaran menurut siapa? Mengapa Lekra memposisikan dirinya
sebagai subjek dan anggotanya serta  seniman di luar Lekra  sebagai objek? Siapa yang
memberi otoritas  sedemikian  besar  sehingga Lekra over  confident  seperti  itu? Sebelum
mengkritik  lebih  jauh  atas  pemikiran  sastrawan-sastrawan  Lekra,  kita  baca  terlebih
dahulu Mukaddimah Lekra yang saya maksud.   
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   9  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
Mukaddimah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) 
Menyadari bahwa  rakyat  adalah  satu-satunya pencipta kebudayaan, dan
bahwa pembangunan kebudayaan Indonesia-baru hanya dapat dilakukan oleh
Rakyat, maka  pada  hari  17 Agustus  1950  didirikan  Lembaga Kebudayaan
Rakyat,  disingkat  Lekra.  Pendirian  ini  terjadi  di  tengah-tengah  proses
perkembangan kebudayaan, yang sebagai hasil keseluruhan daya upaya sadar
manusia  untuk  memenuhi,  setinggi-tingginya  kebutuhan  hidup  lahir  dan
batin, senantiasa maju dengan tiada putusnya.
Revolusi  Agustus  1945  membuktikan,  bahwa  pahlawan  di  dalam
peristiwa  bersejarah  ini,  seperti  halnya  di  dalam  seluruh  sejarah,  adalah
semua golongan di dalam masyarakat yang menentang penjajahan. Revolusi
Agustus adalah usaha pembebasan diri Rakyat Indonesia dari penjajahan dan
peperangan penjajahan serta penindasan feodal. Hanya jika panggilan sejarah
Revolusi Agustus terlaksana, jika tercipta kemerdekaan dan perdamaian serta
demokrasi, kebudayaan berkembang bebas. Keyakinan tentang kebenaran ini
menyebabkan Lekra bekerja membantu pergulatan untuk Kemerdekaan tanah
air  dan  untuk  perdamaian  di  antara  bangsa-bangsa,  di  mana  terdapat
kebebasan bagi perkembangan kepribadian berjuta-juta Rakyat.
Lekra  bekerja  khusus  di  lapangan  kebudayaan,  dan  untuk  masa  ini
terutama  di  lapangan  kesenian  dan  ilmu.  Lekra  menghimpun  tenaga  dan
kegiatan seniman-seniman, sarjana-sarjana serta pekerja-pekerja kebudayaan
lainnya.  Lekra  membantah  pendapat  kesenian  dan  ilmu  bisa  terlepas  dari
masyarakat. Lekra mengajak pekerja-pekerja kebudayaan untuk dengan sadar
mengabdikan  daya  cipta,  bakat  serta  keahlian  mereka  guna  kemajuan
Indonesia, kemerdekaan Indonesia, pembaruan Indonesia.
Zaman kita dilahirkan oleh  sejarah yang besar, dan  sejarah bangsa kita
telah  melahirkan  putera-putera  yang  baik,  di  lapangan  kesusastraan,  seni
rupa, musik,  seni  tari,  seni  drama,  dan  film, maupun  di  lapangan-lapangan
kesenian  lain  dan  ilmu.  Kita  wajib  bangga  bahwa  bangsa  kita  terdiri  dari
suku-suku  yang  masing-masing  mempunyai  kebudayaan  yang  bernilai.
Keragaman  bangsa  kita  ini menyediakan  kemungkinan  yang  tiada  terbatas
untuk penciptaan yang sekaya-kayanya serta seindah-indahnya.
Lekra  tidak  hanya  menyambut  setiap  sesuatu  yang  baru;  Lekra
memberikan  bantuan  yang  aktif  untuk memenangkan  setiap  yang  baru  dan
maju,  Lekra membantu  aktif  perombakan  sisa-sisa  Kebudayaan  penjajah
yang mewariskan kebodohan,  rasa  rendah  serta watak  lemah pada  sebagian
bangsa  kita. Lekra menerima  dengan  kritis  peninggalan-peninggalan  nenek
moyang  kita,  mempelajari  dengan  seksama  segala  segi  peninggalan-
peninggalan itu, seperti halnya mempelajari dengan seksama pula hasil-hasil
klasik maupun dari bangsa  lain yang manapun, dan dengan  ini meneruskan
secara  kreatif  tradisi  yang  agung  dari  sejarah  dan  bangsa  kita, menuju  ke
penciptaan kebudayaan baru yang nasional dan  ilmiah. Lekra menganjurkan
kepada  anggota-anggotanya,  tetapi  juga  kepada  seniman-seniman,  sarjana-
sarjana dan pekerja-pekerja kebudayaan  lainnya di  luar Lekra, untuk  secara
dalam  mempelajari  kebenaran  yang  hakiki  dari  kehidupan,  dan  untuk
bersikap setia kepada kenyataan dan kebenaran.
Lekra  menganjurkan  untuk  mempelajari  dan  memahami  pertentangan-
pertentangan  yang  berlaku  di  dalam  masyarakat  manapun  di  dalam  hati 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   10  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
manusia,  mempelajari  dan  memahami  gerak  perkembangannya  serta  hari
depannya.  Lekra  menganjurkan  pemahaman  yang  tepat  atas  kenyataan-
kenyataan di dalam perkembangannya yang maju, dan menganjurkan hal ini,
baik untuk cara kerja di lapangan  ilmu, maupun untuk cara kerja penciptaan
di lapangan kesenian. Di lapangan kesenian, Lekra mendorong inisiatif yang
kreatif,  mendorong  keberanian  kreatif,  dan  Lekra  menyetujui  setiap  aliran
bentuk dan gaya, selama ia setia pada kebenaran, keadilan dan kemajuan dan
selama ia mengusahakan keindahan artistik yang setinggi-tingginya.
Singkatnya, dengan menolak  sifat anti-kemanusiaan dan anti-sosial dari
kebudayaan  bukan Rakyat,  dengan menolak  perkosaan  terhadap  kebenaran
dan  terhadap  nilai-nilai  keindahan,  Lekra  bekerja  untuk  membantu
pembentukan  manusia  baru  yang  memiliki  segala  kemampuan  untuk
memajukan  dirinya  dalam  perkembangan  kepribadian  yang  bersegi  banyak
dan harmonis.
Di  dalam  kegiatannya,  Lekra  menggunakan  cara  saling  bantu,  saling
kritik  dan  diskusi  persaudaraan  dalam  masalah-masalah  penciptaan.  Lekra
berpendapat bahwa  secara  tegas berpihak pada Rakyat,  adalah  satu-satunya
jalan  bagi  seniman-seniman,  sarjana-sarjana  maupun  pekerja-pekerja
kebudayaan  lainnya,  untuk  mencapai  hasil-hasil  yang  tahan  uji  dan  tahan
waktu. Lekra mengulurkan  tangan  kepada  organisasi  kebudayaan  yang  lain
dari aliran atau keyakinan apapun untuk bekerja sama dalam pengabdian ini. 
Disahkan dalam Kongres Nasional Pertama 
Lembaga Kebudayaan Rakyat
di Solo, tanggal 22-28 Januari 1959. 
Dalam  Mukaddimah  itu,  Lekra  seolah-olah  mengklaim  bahwa  ia
merepresentasikan seluruh rakyat Indonesia. Apabila asumsi  itu benar, maka pernyataan
Lekra  hanyalah  sebuah  utopia.  Tidak  mungkin  seseorang  atau  suatu  lembaga
mengatasnamakan  seluruh  rakyat.  Apa  dan  siapa  sebenarnya  rakyat  itu?  Bisakah  ia
diwakilkan?  Kalaupun  diwakilkan,  seperti  mereka  yang  duduk  di  Dewan  Perwakilan
Rakyat (DPR) saat ini, maka suaranya tidak pernah bulat. Suaranya tidak pernah tunggal.
Sama halnya  tidak dapat kita  terima  jika Front Pembela  Islam  (FPI) mengatasnamakan
seluruh umat Islam dan melakukan aksi  penegakan hukum  tanpa prosedur hukum yang
berlaku.  Ada  proses  distorsi  makna  rakyat  ketika  Lekra  mengatasnamakan  rakyat
mengganyang  dan  membabat  seniman-seniman yang tidak sepaham dengannya.
Oleh  karena  itu,  wajar  bila  muncul  seniman-seniman  muda  lainnya  yang
melakukan  perlawanan.  Di  antara  seniman  muda  itu  adalah  Goenawan Mohamad  (22
tahun), Arief Budiman (23  tahun), Boen S. Oemarjati (23  tahun), dan Taufiq Ismail (26
tahun).  Bersama  H.B.  Jassin,  Wiratmo  Soekito,  dan  Trisno  Sumardjo,  mereka
mengeluarkan pernyataan berupa Manifes Kebudayaan yang tidak bisa menerima konsep
politik  adalah  panglima  dan  realisme  sosialis .  Dalam  penjelasannya,  selain
menyinggung  dua  hal  itu,  mereka  juga  menjelaskan  konsep  kesenian  mereka,
humanisme universal , dan pandangan mereka mengenai kebudayaan nasional. Berikut
ini pernyataan Manifes Kebudayaan.   
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   11  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
Manifes Kebudayaan 
Kami  para  seniman  dan  cendekiawan  Indonesia  dengan  ini
mengumumkan  sebuah Manifes  Kebudayaan,  yang  menyatakan  pendirian,
cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami.
Bagi  kami  kebudayaan  adalah  perjuangan  untuk  menyempurnakan
kondisi  hidup  manusia.  Kami  tidak  mengutamakan  salah  satu  sektor
kebudayaan  di  atas  sektor  kebudayaan  yang  lain.  Setiap  sektor  berjuang
bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha mencipta
dengan  kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk
mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa
Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.
Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.  
Polemik Lekra-Manikebu
Terbitnya buku Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk yang disusun
D.S. Moeljanto  dan  Taufiq  Ismail  (1995) mengundang  kontroversi,  karena  buku  yang
dimaksudkan  untuk menyegarkan  ingatan  kita  pada  peristiwa  bersejarah  tahun  1960-an
dinilai  kurang  tepat  momentumnya.  Buku  tersebut  mengungkap  kembali  masa  lalu
sastrawan Lekra,  seperti Pramoedya Ananta Toer  dan  sastrawan Lembaga Kebudayaan
Nasional (LKN) organisasi massa (ormas) underbow Partai Nasional Indonesia (PNI)
Sitor Situmorang, yang  membabat  sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu) melalui
media massa yang berafiliasi PKI, yakni Harian Rakyat dan Bintang Timur, serta media
yang  berafiliasi  PNI,  Suluh  Indonesia.  Dikatakan  kurang  tepat  momentumnya  karena
sastrawan  Lekra  yang  menjadi  sasaran  kritik  buku  itu  tidak  memiliki  hak  jawab.
Pramoedya  Ananta  Toer  tidak  bisa  melakukan  pembelaan  karena  berada  dalam
pengawasan  serius  pemerintah  Soeharto,  meskipun  saat  itu  Pramoedya  Ananta  Toer
sudah dibebaskan dari Pulau Buru.
Setahun  setelah  itu  muncul  buku  Refleksi  Kebudayaan  yang  disusun  Adila
Suwarno  dkk.  (1996),  yang  berisi  makalah-makalah  yang  disampaikan  dalam  sebuah
diskusi kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Diskusi atau dialog terbuka
bertajuk  Refleksi Kebudayaan  itu merupakan reaksi dari seniman dan intelektual yang
prihatin  dengan  situasi  politik  dan  budaya  saat  itu.  Kita  tahu  bahwa  pada  Juli  1994,
pemerintah  Soeharto  memberedel  majalah  Tempo,  Editor,  dan  tabloid  Detik.  Ini
membuktikan bahwa tidak ada kebebasan berpendapat di negara demokrasi Pancasila era
Soeharto.
Pada  saat yang hampir bersamaan,  tepatnya pada 19  Juli 1995, Yayasan Ramon
Magsaysay memberikan Hadiah Magsaysay yang disebut-sebut  sebagai Nobel Asia
kepada Pramoedya Ananta Toer untuk kategori penulisan  jurnalistik dan  sastra. Hadiah
serupa  pernah  diterima  oleh  H.B.  Jassin,  Mochtar  Lubis,  Soedjatmoko,  Ali  Sadikin,
Abdurrahman Wahid,  Ny.  A.H.  Nasution,  Anton  Soedjarwo,  Ben Mboi,  dan  Nafsiah
Mboi.  Sebelumnya,  pemberian Hadiah Magsaysay  itu  tidak  pernah  bermasalah. Hanya
saja,  karena  yang  menerima  seorang  Pramoedya  Ananta  Toer  yang  sarat  kontroversi,
pemberian hadiah itu pun menimbulkan polemik.  
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   12  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
Dengan  diberikannya  Hadiah  Magsaysay  kepada  Mochtar  Lubis  (yang  anti
komunis)  dan  Pramoedya  Ananta  Toer  (yang  pro  komunis)  bisa  ditafsirkan  bahwa
Yayasan Ramon Magsaysay tidak mempertimbangkan latar belakang ideologi seseorang.
Yang menjadi pertimbangan adalah keduanya sama-sama berprestasi di bidang sastra dan
jurnalistik, serta sama-sama mengalami represi oleh penguasa; Mochtar Lubis mendapat
represi  di  zaman Orde Lama  (rezim Soekarno)  dan  Pramoedya Ananta Toer mendapat
represi di zaman Orde Baru (rezim Soeharto).
Meskipun  demikian,  ada  26  sastrawan  dan  budayawan  yang  dipelopori  Taufiq
Ismail yang  langsung membuat surat pernyataan menolak pemberian hadiah Magsaysay
itu  kepada  Pramoedya  Ananta  Toer.  Para  sastrawan  dan  budayawan  yang  menolak
penganugerahan  Magsaysay  kepada  Pramoedya  Ananta  Toer  adalah  Taufiq  Ismail,
Mochtar Lubis, Rendra, H.B.  Jassin, Asrul Sani, Ali Hasjmy, Wiratmo Soekito, Yunan
Helmy Nasution, D.S. Moeljanto, Bokor Hutasuhut, Misbach Yusa Biran, S.M. Ardan,
Lukman Ali, Rosihan Anwar, Sori Siregar, Leon Agusta, Syu bah Asa, Rachmat Djoko
Pradopo,  Danarto,  Amak  Baljun,  Chairul  Umam,  Ikranagara,  Budiman  S.  Hartoyo,
Slamet  Sukirnanto,  Mochtar  Pabottingi,  dan  Abdul  Rahman  Saleh.  Bahkan,  Mochtar
Lubis mengembalikan Hadiah Magsaysay  beserta uang  senilai Rp100  juta yang  pernah
diterimanya  pada  1958.  Adapun  pernyataan  yang  mereka  tanda  tangani  itu  berbunyi
demikian. 
Pernyataan 
Keputusan Yayasan Hadiah Magsaysay memberikan hadiah sastra 1995
kepada Pramoedya Ananta Toer mengherankan kami di Indonesia.
Kami  menduga  bahwa  Yayasan  Hadiah  Magsaysay  tidak  sepenuhnya
tahu  tentang  peran  tidak  terpuji  Pramoedya  pada  masa  paling  gelap  bagi
kreativitas di zaman Demokrasi Terpimpin, ketika dia memimpin penindasan
sesama seniman yang tidak sepaham dengan dia.
Apapun  juga  kriteria  penilaian  sastra  yang  dipergunakan,  nampaknya
yayasan  tidak  menilai  kegiatan  Pramoedya  di  zaman  merajalelanya
komunisme  di  Indonesia.  Dia  memimpin  penindasan  kreativitas  penulis,
dramawan, sineas, pelukis dan musikus non-komunis, melecehkan kebebasan
ekspresi,  menyambut  pelarangan  buku  dan  piringan  hitam  serta  mengelu-
elukan  pembakaran  buku  besar-besaran  di  Jakarta  dan  Surabaya. Dia  juga
melancarkan kampanye fitnah dan pemburukan nama secara teratur terhadap
seniman-seniman  non-Lekra/PKI,  teror  mental  dan  intimidasi  sebagai
pelaksanaan  prinsip  tujuan  menghalalkan  cara ,  mengembangkan  gaya
bahasa  caci-maki  di  pers  Indonesia,  melakukan  kampanye  pembabatan
terhadap  penerbit-penerbit  independen,  a.l.  yang masih  berani menerbitkan
terjemahan  Dr.  Zhivago,  karya  novelis  Boris  Pasternak  pemenang  Hadiah
Nobel 1958.
Demikianlah  maka  terasa  sangat  ironis  apabila  dengan  keputusan
tersebut  Pramoedya  jadi  duduk  sebangku  dengan  pemenang  hadiah
Magsaysay Mochtar Lubis  dan H.B.  Jassin. Mochtar Lubis,  pengarang  dan
wartawan, pejuang kebebasan  ekspresi dan hak  asasi manusia  lebih dari 40
tahun hingga kini, dan H.B. Jassin, kritikus dan dokumenter sastra, salah satu
dari  sasaran  utama  Pramoedya  di masa  kampanye  fitnah  dan  teror mental
tersebut. 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   13  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
Terlepas  dari  apa  yang  dialaminya  sekarang,  sebegitu  jauh  Pramoedya
tidak  pernah  terdengar  menyesalkan  peran  yang  dilakukannya  dulu,  tidak
pernah  mengakui  seluruh  sepak-terjangnya  di  masa  itu  sebagai  tindakan
pemberangusan  kemerdekaan  kreatif  yang  dilakukan  secara  sistematik.
Namun  demikian,  seniman-seniman  non-komunis  pasca-1965  tidak
memperlakukannya  seperti  Pramoedya  dkk. memperlakukan mereka  30-35
tahun  yang  silam mereka  malah  membela  haknya  menulis,  memprotes
pelarangan  bukunya  dan  menyayangkan  pembatasan-pembatasan  yang
dikenakan  pada  dirinya.  Kami  khawatir  bahwa  pemberian  hadiah  kepada
Pramoedya  sekaligus  berarti  pula  bahwa  Yayasan  Hadiah  Magsaysay
membayarnya  untuk  tindakannya  menindas  kebebasan  kreatif  sejak  awal
hingga pertengahan 60-an di Indonesia. 
Pramoedya  Ananta  Toer  tidak  mendapat  kesempatan  untuk  membela  diri.  Ia
bahkan dicekal ke  luar negeri oleh pemerintah,  sehingga  ia  tidak bisa menerima hadiah
itu  secara  langsung dan  diwakilkan  oleh  istrinya,  Maemunah  Thamrin.  Meskipun
demikian,  seniman-seniman  muda  bereaksi  terhadap  penolakan  26  sastrawan  dan
budayawan  itu. Mereka,  dalam  jumlah  yang  sama  besarnya, mengeluarkan  pernyataan
ketidaksetujuannya dengan 26 sastrawan-sastrawan senior itu. Dari surat pernyataan yang
ditandatangani  26  sastrawan  dan  budayawan muda  itu  tampak  bahwa  pemikiran  kaum
muda lebih mencerahkan dalam membangun kebudayaan yang lebih beradab. Sastrawan
dan budayawan muda yang menandatangani pernyataan pada 15 Agustus 1995 itu adalah
Ariel Heryanto, Halim H.D., Tommy F. Awuy, Ahmad Sahal, Acep Zamzam Noor, Adi
Wicaksono, Sitok Srengenge,  Isti Nugroho, Angger  Jati Wijaya, M.  Imam Awi, Simon
Hate,  Toto  Rahardjo,  Nuruddin  Amin,  Hairus  Salim  H.S.,  Gojek  J.S.,  Arief  Afandi,
Nurhidayat  Poso,  Agus  T., Wahyu  Susilo,  Noor  Aini  Cahya  K.,  Tan  Lioe  Ie, Weye
Haryanto,  Ayik  Sadat,  Gunawan  Budi  Susanto,  Sosiawan  Leak,  dan  Sutanto.  Adapun
pernyataan itu selengkapnya berbunyi sebagai berikut. 
Pernyataan Kaum Muda untuk Kebudayaan 
Wacana  Kebudayaan  Indonesia  hingga  kini  belum  beranjak  dari
pengobaran  tema dan konflik  lama yang bersemangat primordialistik. Masa
depan  membutuhkan  kebudayaan  yang  demokratis,  toleran  dan  siap
menerima  yang  lain.  Oleh  sebab  itu,  wacana  pengembangan  kebudayaan
masa  depan  seyogyanya  bersih  dari  konflik-konflik masa  silam  yang  tidak
relevan  untuk  masa  kini.  Mendesak  suatu  dialog  budaya  yang  mampu
melampaui  pertikaian  keyakinan,  yang  bermuara  pada  penyempitan  sikap
budaya.
Pada  tanggal  19  Juli  1995,  Yayasan  Ramon  Magsaysay  memutuskan
akan  memberikan  penghargaan  bidang  penulisan  sastra  dan  jurnalistik
kepada Pramoedya Ananta Toer. Pada tanggal 29 Juli 1995, 26 seniman dan
budayawan  Indonesia  menyatakan  keheranannya  atas  anugerah  Yayasan
Magsaysay kepada Pram. Pram dalam pandangan mereka, sangat tidak layak
atas  penghargaan  itu,  karena  dalam  sejarah  resmi  ia  disebut  sebagai  orang
yang  bertanggung  jawab  atas  pengekangan  kebebasan  berkreasi  dan
berpendapat  di masa  paling  gelap  bagi  kreativitas  pada  zaman  Demokrasi
Terpimpin (1959-1965). 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   14  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
Kontroversi  di  atas  menunjukkan  dekadensi  wacana  kebudayaan
Indonesia.  Wacana  kebudayaan  Indonesia  semestinya  bertumbuh  dari
dialognya  yang  jantan  dan  terbuka  terhadap  problem-problem  riil  bangsa.
Maka  berkenaan  dengan  itu,  perlu  dikemukakan  beberapa  hal  penting  bagi
bertumbuhnya kebudayaan Indonesia masa depan. 
1. Tragedi politik dan budaya 1965, bagi kami, sejumlah generasi muda yang
relatif berjarak dengan  sepotong  realitas  zaman  tersebut, hingga kini masih
diselimuti sisi gelap. Bahwa ada sejarah yang ditulis, dirasakan hal itu masih
merupakan  interpretasi  sepihak.  Sementara  pihak  yang  lain  hingga  kini
belum  pernah  diberikan  kesempatan  secara  terbuka  dan  aman
mengemukakan  versinya.  Di  sinilah  pertanyaan  tentang  keadilan,
obyektivitas  yang  bertumpu  pada  kejernihan  dan  kearifan  sejarah  mesti
dikedepankan. 
2. Dendam dan sakit hati adalah hal yang sangat manusiawi  tetapi kalaupun
pernah  terjadi  teror  dan  kekejaman  yang  dilakukan  sekelompok  atau
seseorang  terhadap  sekelompok  atau  seseorang  yang  lain,  bukan  berarti
tindakan  balas  dendam  atasnya  menjadi  sah  karenanya  perlu  dimaklumi.
Sebab  betapapun  tindakan memaafkan  dalam  konteks  kehidupan berbangsa
dan berkebudayaan adalah setinggi-tingginya nurani kemanusiaan. 
3. Demi menjamin  tumbuhnya sikap budaya yang demokratis,  terbebas dari
bentuk-bentuk  pembatasan,  pengekangan,  pemasungan  kreativitas,  sudah
saatnya  kehidupan  kebudayaan  dibebaskan  dari  prasangka  politik.  Dalam
kaitannya  dengan  kasus  Pramoedya  Ananta  Toer,  selayaknyalah  kita  rela
memandang  sebagai  sebuah  capaian  kreativitas,  atas  prestasi  budaya  salah
seorang  putra  bangsa  Indonesia.  Kekhawatiran  ideologis  yang  berlebihan,
selain  tidak mendewasakan  juga menghambat  lahirnya  gagasan  kritis  yang
mencerdaskan. 
4.  Perlu  kita  sadari  bersama  bahwa  pewarisan  nilai  kebudayaan  dari  satu
generasi  ke  generasi  berikutnya,  seyogyanya  dilakukan  melalui
pengungkapan  sejarah  yang  utuh  dan  berimbang.  Upaya  penggelapan
terhadap  realitas  sejarah  demi  proteksi  akan  berakibat  lahirnya  sebuah
generasi  yang  diliputi  kecemasan,  ketakutan  dan  gamang  menatap  masa
depan.  Karena  masa  depan  republik  ini  harus  tumbuh  di  atas  bangunan
kebudayaan  yang  arif,  egaliter,  bukan  berdasarkan  dendam  politik  dan
pertarungan paham yang berkepanjangan. 
5.  Untuk  itulah  dalam  rangka  merumuskan  dinamika  kebudayaan  yang
kondusif bagi lahirnya masa depan yang dicita-citakan segenap kaum muda,
seluruh  pertikaian  paham  dan  konflik  kepentingan  wilayah-wilayah
kekuasaan  harus  segera  dipadamkan.  Semangat  rekonsiliasi  harus  lebih
memuat  makna  dialog  dalam  kesadaran  pluralisme.  Rekonsiliasi  penting
untuk  dikedepankan  bukan  dalam  konteks  pemahaman  politik  yang  di
dalamnya tetap berkembang perasaan kalah-menang.  
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   15  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
Kontroversi  itu  tidak berhenti  sampai pada  perang pernyataan  saja, melainkan
terus  berkembang  di  ruang  diskusi  di  TIM,  yang  kemudian  dibukukan  dalam  Refleksi
Kebudayaan (1996), dan menjadi polemik di media massa. Polemik yang terjadi di media
massa  ini  kemudian  dikumpulkan  dan  dibukukan A.S. Laksana  dalam Polemik Hadiah
Magsaysay (1997).
Polemik  atau  kontroversi  seputar  pemberian  Hadiah  Magsaysay  kepada
Pramoedya Ananta Toer  ini mengingatkan kita pada kontroversi antara sastrawan Lekra
dan Manikebu  pada 1960-an,  karena  aktor-aktor yang  berperan masih  aktor-aktor  yang
lama.  Pramoedya  Ananta  Toer  di  satu  pihak  melawan  26  sastrawan  dan  budayawan
senior. Di manakah ujung dari manuver ke-26 sastrawan dan budayawan senior itu? Dari
tulisan  Rendra, misalnya,  yang  diharapkan  adalah  pengakuan  dosa  Pramoedya Ananta
Toer  atas  tindakan-tindakannya  di  masa  lalu  dan  permintaan  maaf  atas  kesalahan-
kesalahan yang telah dilakukan. Pramoedya Ananta Toer tentu saja menolak minta maaf
dan  tidak  mengakui  apa  yang  dilakukannya  merupakan  kesalahan,  karena  dia  sangat
yakin bahwa yang dilakukannya adalah benar.
Yang menarik  adalah berubahnya  formasi kubu  sastrawan Manikebu yang  tidak
satu  suara  lagi.  Goenawan  Mohamad,  yang  melihat  Pramoedya  Ananta  Toer  sebagai
seorang  yang  keras  kepala,  kali  ini  tidak  sehaluan  dengan  kelompok  Taufiq  Ismail.
Tulisan Goenawan Mohamad  (2004),  Surat  Terbuka  untuk  Pramoedya Ananta  Toer
memperlihatkan perbedaan sikap yang  jelas dengan kelompok Taufiq Ismail. Goenawan
Mohamad  menyuarakan  perlunya  rekonsiliasi  antara  berbagai  pihak  yang  bertikai,
dengan saling memaafkan dan bisa menerima perbedaan.
Sikap  Goenawan  Mohamad  ini  diikuti  oleh  rekan  seperjuangannya,  Arief
Budiman,  yang  sama-sama  menolak  menandatangani  pernyataan  yang  dibuat  Taufiq
Ismail  dan  kawan-kawan.  Benih  perpecahan  antara  kelompok  Goenawan  Mohamad,
Arief  Budiman,  ditambah  Sapardi  Djoko  Damono  dan  Umar  Kayam  di  satu  pihak,
dengan kelompok Taufiq Ismail, Mochtar Lubis, ditambah Sutardji Calzoum Bachri dan
Hamsad  Rangkuti  di  pihak  lain,  sebenarnya  sudah  mengemuka  sejak  terjadinya
kekisruhan  pengelolaan  majalah  sastra  Horison  pada  Juli  1993.  Peristiwa  penerimaan
Hadiah Magsaysay  oleh  Pramoedya Ananta  Toer menjadi  stimulus  yang memperlebar
dan mempertajam perbedaan itu.
Polemik Hadiah Magsaysay  ini menjadi  pertanda  bahwa  kontroversi  sastrawan
Lekra dan Manikebu  itu belum selesai. Bukan hanya itu, kalau kita membaca secara jeli
dan  teliti  buku  antologi  puisi  yang  disunting  oleh  Taufiq  Ismail,  seperti  Ketika  Kata
Ketika Warna  (1995) yang  berisi  50  penyair  pilihan dan Horison  Sastra  Indonesia:
Kitab Puisi  (2001), sama sekali  tidak memasukkan Sitor Situmorang di dalamnya. Saya
berasumsi  bahwa  tidak  diikut-sertakannya  Sitor  Situmorang  ke  dalam  dua  buku  puisi
yang disunting Taufiq Ismail  itu karena  latar belakang pengalaman mereka berdua yang
berada di jalan yang berbeda. Asumsi ini diperkuat oleh data berupa kliping berita koran
yang ada di dalam buku Prahara Budaya. Mengapa di buku Prahara Budaya ada tulisan
Sitor Situmorang  sedangkan di buku Horison Sastra  Indonesia: Kitab Puisi karya Sitor
Situmorang tidak ada padahal penyuntingnya sama? 
Dari kasus  ini saja kita bisa melihat  subjektivitas  seorang Taufiq  Ismail. Hal  ini
sekaligus menunjukkan bahwa jika seorang pelaku sejarah menulis dengan perspektifnya
sendiri, maka akan kental subjektivitas si penulis. Dalam menulis Prahara Budaya, D.S. 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   16  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
Moeljanto dan Taufiq Ismail memotret peristiwa tahun 1960-an dari perspektif sastrawan
Manikebu. Demikian  pula  Joebaar Ajoeb, mantan  Sekjen Lekra, menulis  buku  Sebuah
Mocopat  Kebudayaan  Indonesia  (2004)  untuk  memotret  peristiwa  1960-an  dari
perspektif sastrawan Lekra. Dalam bukunya, Joebaar Ajoeb berusaha menjelaskan posisi
Lekra yang tidak bisa diidentikkan dengan PKI. Berdasarkan hal itu, penelitian mengenai
sejarah  sastra  Indonesia  menjadi  sangat  signifikan  kalau  kita  menggunakan  perspektif
baru.
Sebenarnya,  sastrawan-sastrawan  Lekra  dan  sastrawan-sastrawan  Manikebu
sangat  berjasa  bagi  bangsa  Indonesia.  Karya-karya  sastra  yang  telah  mereka  hasilkan
memperkaya  khasanah  kesusastraan  dan  kebudayaan  Indonesia.  Masuknya  politik  ke
dalam  dunia  sastra  yang  demikian  dalam  mengakibatkan  penulisan  sejarah  sastra
Indonesia  tidak  pernah  utuh  dan  sempurna.  Oleh  karena  itu,  penulisan  sejarah  sastra
Indonesia perlu merangkum semua  sastrawan yang berbeda haluan maupun  ideologi ke
dalam wadah yang sama: dunia sastra Indonesia.
Penulisan sejarah sastra idealnya bisa merangkum semua sastrawan berikut karya
sastra  yang  dihasilkannya. Dari  perspektif  politik,  pada  1960-an  itu  terjadi  kontroversi
yang  cukup  tajam  antara  sastrawan Lekra dengan  sastrawan Manikebu. Arief Budiman
(2006) memetakan  setidaknya  ada  empat kelompok  sastrawan yang memiliki visi yang
berbeda.  Pertama,  sastrawan  yang  tergabung  dalam  Lekra,  yang  mengusung  paham
realisme  sosialis,  yang  bersemboyan  politik  sebagai  panglima .  Kedua,  sastrawan
independen,  yang  mengusung  paham  humanisme  universal,  yang  menyatakan  semua
sektor kebudayaan sederajat, saling melengkapi, dan menolak politik menjadi panglima.
Ketiga,  sastrawan yang masuk ke dalam partai politik-partai politik yang ada,  sehingga
mereka bisa berlindung di bawah partai politik dan sekaligus menyuarakan kepentingan
partai masing-masing. Keempat, sastrawan yang tidak masuk ke dalam tiga kelompok itu,
seperti Trisnoyuwono dan Ajip Rosidi (Budiman, 2006: 173-174; Rosidi, 1995).
Sejak didengungkan  politik sebagai panglima  oleh Lekra yang berdiri pada 17
Agustus  1950 pengertian  sastra  yang  baik,  sastra  yang  indah,  mengalami  reduksi.
Dalam  pandangan  sastrawan  Lekra,  sastra  yang  indah  adalah  karya  sastra  yang
mengangkat tema-tema yang bisa dipahami rakyat, karya yang bisa dimengerti petani dan
buruh, serta memberi atau membangkitkan semangat hidup mereka (Budiman, 2006).
Semakin  kuatnya  posisi  Lekra  di  kancah  politik,  karena mendapat  support  dari
PKI, maka sastrawan yang tidak berada di bawah payung Lekra menjadi sasaran tembak,
terutama  sastrawan  independen  yang  berani  mengeluarkan  sikap  penolakan  terhadap
semboyan  politik  sebagai  panglima . Akibatnya,  iklim  sastra  Indonesia menjadi  tidak
sehat.  Setelah  Presiden  Soekarno  melarang  Manikebu  pada  8  Mei  1964,  pemerintah
menindaklanjutinya  dengan  pelarangan  karya  sastra  yang  ditulis  oleh  penandatangan
Manikebu  dan  sastrawan-sastrawan  yang  tidak  sehaluan  dengan  Lekra.  Sebaliknya,
setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965,  karya  sastra yang ditulis oleh  sastrawan
Lekra  juga  mengalami  nasib  yang  sama,  yakni  dilarang  terbit,  dilarang  beredar,  dan
dilarang  dibaca  oleh  siapa  pun.  Pemerintahan  Soeharto  tidak  saja melarang  buku-buku
yang dihasilkan sastrawan Lekra, tetapi juga menahan mereka.
Dampak  yang  lebih  buruk  adalah  tidak  utuhnya  karya  sastra  Indonesia  yang
terdapat  dalam  buku  sejarah  sastra  Indonesia ataupun  buku  yang  mencoba
menampilkan karya sastra Indonesia secara komprehensif. Di era Soeharto (1966-1998), 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   17  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
jelas  tidak mungkin kita mengharapkan buku  sejarah  sastra  Indonesia yang ditulis  oleh
sastrawan atau sejarawan Lekra. Buku Sedjarah Sastera Indonesia Modern Jilid 1 (1964)
karya  Bakri  Siregar,  mantan  Ketua  Pengurus  Pusat  Lekra,  saja  dilarang,  meskipun
digunakan  di  dunia  akademik.  Buku  sejarah  sastra  yang  ditulis  Bakri  Siregar  itu  baru
sampai pada masa Pujangga Baru, dan belum ada kelanjutannya, kerena jilid kedua tidak
kunjung terbit.
Dari  dua  buku Ajip  Rosidi,  Laut  Biru  Langit  Biru  (1977)  dan  Puisi  Indonesia
Modern  (1987), sama sekali  tidak disinggung  sastrawan Lekra. Dan, bila kita membaca
buku Refleksi Kebudayaan  (1996)  dan Polemik Hadiah Magsaysay  (1997),  kita  belum
bisa banyak berharap  akan  lahir  sebuah buku  sejarah  sastra  Indonesia yang ditulis oleh
kalangan Manikebu secara komprehensif. Begitu juga dari kalangan Lekra.
Saya merasa kita memerlukan sejarah sastra  Indonesia yang komprehensif, yang
memuat karya sastra hasil ciptaan bangsa Indonesia tanpa melihat latar belakang agama,
suku, pendidikan,  ideologi, maupun partai politiknya. Mengapa demikian? Karena, hasil
cipta sastra yang ditulis oleh para sastrawan itu baik kelompok Lekra, Manikebu, yang
ikut dalam partai politik, maupun sastrawan yang berada di luar kelompok itu memiliki
nilai  yang  sangat  berguna  bagi  bangsa  Indonesia.  Karya  sastra  yang  mereka  tulis
merupakan hasil perenungan dan pemikiran mereka  terhadap situasi sosial politik dalam
masyarakatnya  yang  terjadi  pada  zamannya. Apapun  sikap  pengarang  terhadap  realitas
saat  itu patut kita hargai, meskipun kita  tidak sependapat dengan gagasan si pengarang,
atau  bahkan  kita  bertentangan  dengan  sikap  pengarang. Karena,  karya  sastra  bukanlah
kitab suci yang lepas dari interpretasi.
Mengapa  sejarah  sastra  Indonesia periode 1960-an menjadi  titik perhatian? Kita
semua  tahu  bahwa  dalam  sejarah  kontemporer  Indonesia,  ada  dua  periode  yang masih
menyisakan tanda tanya, yakni periode 1960-an dan periode 1990-an.
Pada kedua periode tersebut terjadi pergantian rezim penguasa. Pada 1966 terjadi
pergantian rezim dari Soekarno ke Soeharto. Proses pergantian rezim penguasa  ini  tidak
berjalan mulus, bahkan dapat dikatakan berdarah-darah. Ada tujuh elite militer Angkatan
Darat  yang  diculik  dan  dibunuh,  kemudian  PKI  dijadikan  terdakwa,  sebagai  dalang  di
balik  pembunuhan  para  jenderal  itu.  PKI  sebagai  partai  terbesar  keempat  hasil  Pemilu
1955 setelah PNI, Masyumi, dan NU pun dibubarkan dan dijadikan partai  terlarang.
Pemimpin PKI ditangkap dan ditahan,  sebagian dibunuh. Yang memilukan,  ribuan atau
bahkan  jutaan  anggota  partai  di  level  akar  rumput  (grass  root)  menjadi  korban
pembantaian.  Pembunuhan  berakhir  pada  bulan-bulan  pertama  1966,  meninggalkan
korban  kematian  yang  jumlahnya  tidak  diketahui  dengan  pasti.  Sebagian  besar  ahli
memperkirakan  setidaknya  setengah  juta  orang  tewas.  Dalam  sejarahnya,  Indonesia
belum  pernah menyaksikan  pembunuhan massal  yang merenggut  korban  begitu  besar.
Pembunuhan  ini  meninggalkan  bekas  yang  begitu  dalam  dan  tidak  terlupakan  bagi
banyak rakyat Indonesia (Ricklefs, 2005: 566).
Demikian pula dengan peralihan kekuasaan dari Soeharto ke B.J. Habibie, yang
diwarnai  dengan  peristiwa  yang  dikenal  sebagai  Kerusuhan Mei  1998.  Banyak  orang
yang  tewas dalam kerusuhan  itu, banyak pula perempuan keturunan Cina yang menjadi
korban perkosaan. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, elite politik saat itu saling
tuding  dan melepas  tanggung  jawab. Yang menarik,  partai  Golkar  (Golongan  Karya),
yang dihujat demonstran saat demonstrasi besar-besaran menuntut Soeharto  turun,  tidak 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   18  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
dibubarkan sebagaimana PKI. Padahal, partai Golkar yang merupakan pendukung utama
Soeharto mengemban  tanggung  jawab moral atas keterpurukan perekonomian  Indonesia
dan maraknya korupsi di Indonesia, hingga Indonesia dikenal sebagai negara terkorup di
dunia. 
Kontroversi  yang  terjadi  pada  1960-an  bersinggungan  langsung  dengan
kesusastraan  dan  kebudayaan. Meskipun  demikian,  yang  terjadi  adalah  konflik  politik,
bukan konflik sastra. Oleh karena itu, dalam penulisan sejarah sastra, tidak dikenal istilah
kalah dan menang,  tidak  ada  istilah benar dan  salah, yang ada hanyalah perbedaan dan
keberagaman.  Pengganyangan  atau  bahkan  penindasan  sastrawan  Lekra  terhadap
sastrawan  Manikebu  hanya  merupakan  peristiwa  di  luar  wilayah  sastra.  Dalam  arti,
pemaksaan  dan  pembabatan  yang  dilakukan  sastrawan  Lekra  terhadap  sastrawan-
sastrawan  Manikebu  itu  tidak  serta-merta  mempengaruhi  kualitas  karya  sastra  yang
dihasilkan.  Sama  halnya  pelarangan  dan  penindasan  yang  dilakukan  rezim Orde  Baru
terhadap  sastrawan Lekra  yang  tidak mempengaruhi  kreativitas  sastrawan Lekra  dalam
menghasilkan  sebuah  karya  sastra.  Bagi  seorang  Pramoedya  Ananta  Toer,  misalnya,
pembatasan  yang  dilakukan  pemerintah  Orde  Baru  sama  sekali  tidak  mempengaruhi
proses  kreatifnya.  Karena,  kata  Pramoedya  Ananta  Toer,  kreativitas  itu  merupakan
persoalan sastrawan dengan dirinya sendiri.
Goenawan  Mohamad,  dalam  Eka  Kurniawan  (2006),  mengatakan,  meskipun
desakan  untuk membabat mereka  yang  berpikiran  lain  berlangsung,  dan  pemerintahan
Demokrasi  Terpimpin  ikut  mengumandangkan  realisme  sosialis  bagi  kesenian
Indonesia, kondisi  sosial politik dan posisi PKI belum melahirkan  seorang Stalin  (yang
melakukan sensor ketat melalui partai) dan seorang Zhdanov (juru sensor Stalin). Bahkan
sebagian besar anggota Lekra belum mengerti benar apa yang dimaksudkan Pramoedya
Ananta  Toer  mengenai  realisme  sosialis  itu.  Bagi  sebagian  besar  anggota  Lekra,
mengerti semboyan  seni untuk rakyat  saja sudah cukup, malah lebih menarik dan dapat
membuka pelbagai kemungkinan  tafsir. Dalam seni rupa, misalnya, semboyan semacam
itu  menghasilkan  karya-karya  yang  sangat  mengesankan  dan  jauh  dari  keseragaman.
Sementara  dalam  puisi,  menghasilkan  karya-karya  Agam Wispi,  Hr.  Bandaharo,  dan
Amarzan Ismail Hamid yang gemanya hidup sampai sekarang.
Saya menggarisbawahi pendapat Goenawan Mohamad bahwa perbedaan konsep
dalam  berkesenian,  seperti  seni  untuk  seni ,  seni  untuk  rakyat ,  seni  beraliran
realisme sosialis ,  seni beraliran humanisme universal , ataupun pengkategorian seperti
sastra kanon ,  bacaan liar ,  sastra cina peranakan ,  sastra populer ,  roman picisan ,
sastra  marginal ,  sastra  feminis ,  dan  sekarang  malah  ada  sastra  koran ,  sastra
cyber , dan masih banyak  lagi, perlu mendapat perhatian kita. Apa yang  telah dihimpun
Ernst  Ulrich  Kratz  (1988)  sesungguhnya  memperlihatkan  bahwa  masih  banyak  lahan
yang belum kita garap. Dari 5.506 penulis/sastrawan yang  tercatat, mungkin  tidak  lebih
dari  sepuluh  persen  yang  tercatat  dalam  buku-buku  sejarah  sastra  yang  kini  beredar  di
sekolah-sekolah.  Oleh  karena  itu,  di  era  reformasi  sekarang  ini,  kita  susun  kembali
sejarah sastra Indonesia secara lebih bijak, lebih adil, komprehensif, dan memperlihatkan
kekayaan khasanah sastra Indonesia.
Wilhelm Dilthey, dalam Kuntowijoyo (2003), menjelaskan pendekatan verstehen
( memahami )  sebagai  jalan  untuk  memahami  sejarah.  Lebih  jauh  dikatakan,  aktor
sejarah adalah manusia yang berpikir dan merasa. Kita harus memahami perilaku pelaku 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   19  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
sejarah  sebagaimana  pelaku  itu memberi makna  perbuatannya,  serta  harus menemukan
makna subjektif dan tafsir subjektif pelaku sejarah. 
Adapun proses yang harus dilalui adalah empati atau menyatukan rasa. Selain itu,
kita harus hidup dalam makna subjektif itu (to relive). Bila kita tidak dapat hidup dalam
makna subjektif, maka sejarawan pun tidak akan dapat memahami ketaksadaran kolektif,
seperti cinta, permainan, dan ketakutan.
Pendekatan  yang  ditawarkan Wilhelm  Dilthey  tersebut  membawa  kita  kepada
pemahaman  mengapa  seseorang  bertindak  seperti  itu,  apa  motifnya,  mengapa  ada
ketaksadaran kolektif  seperti  itu, dan  sebagainya. Dengan  demikian, muara yang dituju
bukanlah menghakimi seseorang benar atau salah atas  tindakannya di masa  lalu. Dalam
sastra,  tidak  ada  kebenaran  absolut,  yang  ada  adalah  kebenaran  relatif,  tergantung
bagaimana kita menginterpretasi karya sastra, dan tergantung perspektif yang digunakan.
Demikian  pula  peristiwa  sejarah,  yang  juga  multidimensional  dan  multiinterpretasi
(Kuntowijoyo, 2003: 174).
Dalam hal  ini, kaitan antara sastrawan dengan karya sastra dapat dilihat dari dua
sisi.  Pertama,  ketika  kita  mencari  makna  tekstual  suatu  karya  sastra,  maka  pendapat
Roland Barthes bahwa pengarang telah mati dapat diterima. Dengan demikian, kita dapat
menilai  karya  tersebut  tanpa  menyangkutpautkan  karya  itu  dengan  pengarangnya
apakah pengarang itu berhati malaikat atau berhati iblis, tidak menjadi soal.
Kedua, bila kita hendak menggali makna kontekstual suatu karya sastra, misalnya
dengan  menggunakan  pendekatan  feminisme  atau  postkolonialisme,  maka  pengarang
tidak  dapat  dipisahkan  dari  karyanya.  Bagaimanapun,  ideologi  pengarang  sangat
berpengaruh  dan  bahkan  sangat  menentukan  dalam  penyampaian/mengekspresikan
gagasan-gagasannya, pemikirannya, dan sikap politiknya melalui karya sastra.
Meskipun demikian, kedua pendekatan tersebut bisa digunakan secara bersamaan,
karena  saling  melengkapi.  Maksudnya,  kita  perlu  memperhatikan  pokok  (berkaitan
dengan  pemikiran  sastrawan  yang  dikemas  melalui  karya  sastra)  dan  tokoh  (yakni
kehidupan  dan  biografi  sastrawan  itu  sendiri).  Selain  itu,  diperhatikan  juga  unsur
tematik  (berkaitan  dengan  tema,  isi,  dan  topik  karya  sastra)  serta  unsur  stilistik
(berkaitan  dengan  gaya  bahasa,  gaya  pengucapan,  diksi,  bentuk,  dan  komponen  sastra
lainnya). Diharapkan penelitian semacam  ini menjadi  titik awal penulisan sejarah sastra
Indonesia yang lebih lengkap, lebih luas, dan lebih mendalam lagi. 
Dunia akademis memiliki tanggung jawab moral dalam penyusunan sejarah sastra
Indonesia,  dan  sudah  sepantasnya menyusun  buku  sejarah  semacam  itu. Apalagi  dunia
akademis memiliki kebebasan mimbar/kebebasan akademis, memiliki otoritas di bidang
sastra,  independen terlepas  dari  kepentingan  politik  tertentu,  dan  memiliki  intensitas
perhatian di bidang sastra.  
Kanonisasi  
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat     
Chairil Anwar  
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   20  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
Kita patut merasa rugi ketika membaca buku sejarah sastra Indonesia yang selama
ini beredar di masyarakat, karena belum ada satu buku pun yang memuat sejarah sastra
Indonesia  secara  komprehensif. Memang  harapan  akan  sebuah  buku  yang  benar-benar
komplet  seperti  sebuah  utopia,  tapi bagaimanapun upaya  semacam  itu  harus dilakukan.
Kalau  kita  membaca  Horison  Sastra  Indonesia  yang  diterbitkan  oleh  kelompok
Horison Taufiq  Ismail  dan  kawan-kawan maka  tidak  akan  kita  temukan,  misalnya,
sastrawan Lekra seperti Agam Wispi atau Hr. Bandaharo maupun sastrawan LKN seperti
Sitor  Situmorang.  Padahal,  ketiga  nama  itu  layak  dicatat  dalam  sejarah  perpuisian
Indonesia.
Apakah dengan demikian Taufiq  Ismail dan kawan-kawan  itu patut disalahkan?
Tentu  saja  tidak. Kita malah  harus  berterima  kasih  dengan  karya yang  telah  dihasilkan
Taufiq Ismail dan kawan-kawan itu. Karena, bagaimanapun, penyusunan sebuah antologi
karya sastra secara kronologis sehingga sedikitnya ada pretensi kesejarahan seperti itu
tidak terlepas dari subyektivitas penyusunnya, baik dilakukan secara sadar maupun tidak
sadar.  Tapi,  yang  dilakukan  Taufiq  Ismail  rupanya  dilandasi  dengan  kesadaran  penuh,
karena  ternyata  nama  Sitor  Situmorang  tidak  hanya  hilang  di  buku  Horison  Sastra
Indonesia, melainkan juga tidak muncul dalam buku lain yang juga disuntingnya, Ketika
Kata Ketika Warna.
Yang mengejutkan,  ketika  Taufiq  Ismail  ingin memaparkan  fakta  sejarah  pada
awal 1960-an, yang diakui atau tidak, merupakan potret hitam sastrawan Lekra yang saat
itu  memaksakan  semua  sastrawan  menyuarakan  revolusi,  dengan  semangat  politik
sebagai  panglima,  dan  ukuran  keindahan  sebuah  karya  sastra  hanya  ditentukan  pada
pembelaan kaum buruh dan tani semata, puisi Sitor Situmorang dan sastrawan-sastrawan
Lekra  seperti  Sobron  Aidit  dan  Agam  Wispi  bisa  muncul.  Buku  Prahara  Budaya
membuktikan hal itu.
Saya  sama  sekali  tidak  menyalahkan  Taufiq  Ismail  dan  D.S.  Moeljanto  yang
menyusun Prahara Budaya yang sangat penting artinya sebagai bahan baku penulisan
buku sejarah yang lebih obyektif namun menyayangkan saja, kenapa ketika bicara yang
manis-manis ,  seperti  untuk  buku  Horison  Sastra  Indonesia  dan  Ketika  Kata  Ketika
Warna nama Sitor Situmorang  tidak dimunculkan, dan ketika bicara yang  pahit-pahit ,
seperti untuk buku Prahara Budaya, nama Sitor Situmorang berikut karya-karyanya bisa
muncul dalam porsi yang berlebihan? Dan, bahkan,  secara politik bisa merugikan Sitor
Situmorang,  kalau  kita  kaitkan  terbitnya  buku  itu  dengan  konteks  zaman  saat  itu,  saat
rezim Soeharto ingin memberantas PKI dan antek-anteknya sampai ke akar-akarnya.
Apa yang perlu disikapi dari kanonisasi semacam itu? Memang, kita  tahu bahwa
tidak  ada  otoritas  tunggal  dalam  sastra  Indonesia. Kritikus  sastra  sekaliber H.B.  Jassin
memang  sempat dikukuhkan Gajus Siagian  sebagai Paus Sastra  Indonesia, yang  fatwa-
fatwanya  dipercayai  banyak  pihak,  termasuk  guru-guru  bahasa  dan  sastra  Indonesia.
Namun,  setelah  Jassin  meninggal,  tidak  ada  yang  secara  serius  melanjutkan
pekerjaannya,  padahal  bahan  baku  yang  tersimpan  di Pusat Dokumentasi Sastra  (PDS)
H.B.  Jassin  sangat  melimpah.  Ignas  Kleden  mengklaim  PDS  H.B.  Jassin  merupakan
perpustakaan  terbesar  di Asia Tenggara  yang menyimpan  karya  sastra  Indonesia.  E.U.
Kratz  pun  mengakui  bahwa  penyusunan  dua  bukunya,  A  Bibliography  of  Modern
Indonesia Literature in Journals dan Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX
sebagian besar didukung oleh data yang tersimpan di PDS H.B. Jassin. Lagi pula, Jassin 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   21  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
sendiri  baru  menyusun buku yang bervisi kesejarahan baru sampai pada Angkatan 66.
Lalu, bagaimana  sastra  Indonesia periode 1970-an dan  sesudahnya? Bagaimana  sejarah
sastra Indonesia pasca-Orde Baru atau di era reformasi?
Ini menjadi  tugas kita bersama,  terutama pengajar  sastra  Indonesia di perguruan
tinggi  untuk  bisa menampilkan  wajah  sastra  Indonesia  selengkap mungkin.  Ini  tidak
hanya  tugas  pengajar  sastra  Indonesia  di  Universitas  Indonesia  (UI)  saja,  tapi  juga
pengajar  sastra  Indonesia  di  berbagai  perguruan  tinggi  di  Indonesia  atau  di mana  pun.
Apa  yang  dilakukan  Yudiono  K.S.,  pengajar  sastra  Indonesia  Universitas  Diponegoro
(Undip)  Semarang,  yang  menulis  buku  sejarah  sastra  Indonesia  terbaru,  Pengantar
Sejarah  Sastra  Indonesia,  patut  diapresiasi,  karena  di  dalamnya  sudah  ada  nama-nama
sastrawan  Indonesia  yang  baru,  meskipun  menurut  saya  masih  ada  kekurangannya.
Misalnya, masih lenyapnya sastrawan Lekra dan sastrawan eksil. Khusus di bidang puisi,
upaya yang  dilakukan Harry Aveling melalui Rahasia Membutuhkan Kata,  yang  berisi
puisi-puisi  yang  lahir  di  masa  Orde  Baru  (1966-1998)  pun  patut  dihargai,  meskipun
masih banyak juga penyair yang luput dari perhatiannya. 
Kanonisasi  yang  terjadi  selama  ini  bukan  disebabkan  oleh  penulis  buku  sejarah
saja, tapi faktor politik cukup besar pengaruhnya. Ini, misalnya, bisa kita lihat dari upaya
atau niat besar Linus Suryadi Ag. yang hendak menghimpun puisi dari penyair Indonesia
selengkap mungkin melalui  buku  Tonggak  (1987,  empat  jilid).  Tapi,  niat mulia  Linus
Suryadi  itu  tak  bisa  terwujud,  karena  penyair  atau  sastrawan Lekra masih  kena  segel
merah  alias  dilarang  berekspresi dan  bersuara melalui media  apa pun,  termasuk  karya
seni yang bernama puisi. Akibatnya, hanya 180 penyair yang berhasil dikumpulkan oleh
Linus.
Angka  180  itu  pun  merupakan  angka  kompromi  antara  Linus  sebagai  editor  dengan
Gramedia  sebagai  penerbitnya.  Karena,  bagaimanapun,  penerbitan  sebuah  karya  besar
memerlukan dana yang besar pula. 
Yang  patut  disayangkan  dari  buku  Tonggak  ini  adalah  tidak  adanya  penyair-
penyair seperti Abdul Hadi W.M., Sutardji Calzoum Bachri, Ikranagara, dan Emha Ainun
Nadjib. Tapi, ketiadaan nama-nama itu bukan karena kesalahan Linus Suryadi, melainkan
karena  keinginan  para  penyair  itu  sendiri.  Sama  halnya  dengan  tidak  adanya  nama
Rendra dalam kumpulan puisi yang menandai 50  tahun Indonesia merdeka, Ketika Kata
Ketika Warna.  Tak  adanya  nama  Rendra  bukan  karena  kesalahan  Taufiq  Ismail,  tapi
karena ketidakmauan Rendra sendiri.
Jadi, setidaknya ada  tiga  faktor yang menyebabkan proses kanonisasi  itu  terjadi.
Pertama, faktor politik. Kedua, faktor ekonomi. Ketiga, faktor penulis [buku sejarah] atau
penyunting  [antologi  karya  sastra].  Kini,  kita  perlu  meneruskan  dan  mengembangkan
kerja yang sudah dilakukan H.B. Jassin. Penyair Sapardi Djoko Damono melalui Yayasan
Lontar  baru-baru  ini menerbitkan  Antologi Drama  Indonesia  (empat  jilid)  yang  cukup
lengkap. Isinya adalah 60 naskah drama yang pernah terbit antara 1895-1995 (satu abad)
pilihan Sapardi Djoko Damono.
Apa  yang  dilakukan  Guru  Besar  Fakultas  Ilmu  Pengetahuan  Budaya  UI  itu
merupakan kerja raksasa. Apalagi buku itu akan diikuti antologi cerpen, novel, puisi, dan
esai  (yang  belum  tersentuh  oleh  banyak  ahli  sastra). Meskipun  ada  kanonisasi  dalam
pembuatan  buku  raksasa  seperti  itu,  karena  banyak  yang  terpinggirkan,  banyak  yang
tersingkirkan,  tetap  harus  diapresiasi.  Saya  mensyukuri  terbitnya  Antologi  Drama 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   22  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
Indonesia,  karena  banyak  manfaatnya  daripada  mudharatnya.  Namun,  itu  jangan
dianggap bahwa naskah  drama yang baik  hanya yang  seperti 60 naskah  itu. Tentu  saja
masih banyak naskah drama yang harus dibukukan lagi.
Sekali  lagi, menurut A. Teeuw,  kanonisasi  itu  penting  dan  berguna,  karena kita
bisa  membaca  karya-karya  puncak  yang  dihasilkan  oleh  suatu  bangsa.  Namun,
kanonisasi  sekaligus  membahayakan,  karena  menutup  kemungkinan  masyarakat  untuk
mengapresiasi karya-karya yang  lain, yakni karya-karya yang dilarang penguasa, karya-
karya yang tidak memenuhi selera penulis, penyunting, atau penerbit.  
Jejak Langkah Sejarah 1965 
Setelah membaca berita itu,
Sebagai anak kecil pun aku bertanya-tanya
Apakah orang-orang yang diciduk selama ini termasuk manusia-manusia
biadab yang membunuh para jenderal itu jika tidak, mengapa mereka
harus diciduk dan tidak pernah kembali lagi?      
Seno Gumira Ajidarma  
Saya  sangat  yakin  bahwa  pembaca  akan  terkejut  bila  membaca  pengakuan  10
perempuan  korban  perkosaan  pasca  30  September  1965  yang  dihimpun  dalam  buku
Suara Perempuan Korban Tragedi  65  (SPKT 65) karya  Ita F. Nadia  (2008). Membaca
pengakuan kesepuluh perempuan  itu  saya  sampai pada  titik kebimbangan: apakah yang
ditulis oleh Ita F. Nadia itu fakta atau fiksi? 
Kalau  fakta,  maka  pengalaman  traumatik  yang  dialami  oleh  perempuan-
perempuan  itu  sangat  sulit  dipahami  dengan  bahasa  hati  nurani  dan  kacamata
kemanusiaan.  Jeritan  kaum  perempuan  itu  sudah melampaui  batas  imajinasi  kita. Apa
yang  dialami Yanti, misalnya,  yang  ketika  ditangkap  pasca  30  September  1965 masih
berumur  14  tahun,  meruntuhkan  pengetahuan  kita  akan  peristiwa  lubang  buaya  yang
tertera dalam buku sejarah bangsa Indonesia. 
Peristiwa  lubang buaya yang diberitakan harian Angkatan Bersenjata dan Berita
Yudha pada 1965, yang antara  lain menyebutkan perempuan-perempuan yang  tergabung
dalam Gerakan Wanita  Indonesia  (Gerwani)  sebagai penyiksa dengan  tingkat kesadisan
yang   melewati  batas yakni menyiksa  para  jenderal  dengan menyungkil matanya  dan
memotong  kemaluannya  sambil menari-nari  telanjang yang  dulu  dianggap  fakta  yang
melatari  permakluman  atas  pembantaian  jutaan  orang  pada  1965/1966,  kini  terbaca
sebagai fiksi, bahkan cenderung menjadi mitos dalam kehidupan berbangsa kita, terlebih
kalau kita mengacu pada hasil visum et repertum yang terbaca oleh Ben Anderson (lihat
Adam, 2004). 
Kalau cerita atau pengakuan 10 perempuan  itu dikategorikan sebagai fiksi, maka
buku  ini  layak  mendapat  penghargaan  sebagai  karya  fiksi  terbaik,  karena  cerita  yang
disampaikan  kesepuluh  perempuan  itu  sangat menyentuh  dan menggedor-gedor  nurani
pembacanya. Siapa pun yang membaca buku ini, apalagi perempuan, bisa dipastikan akan
merasa nyeri, perih, dan pedih, karena akan  terbayang kembali kasus penganiayaan dan
pembunuhan  terhadap Marsinah,  serta  kasus  perkosaan  terhadap  perempuan  keturunan 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   23  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
China pada Mei 1998. Saya menilai buku SPKT 65  itu  sebagai sebuah data yang berisi
fakta-fakta yang perlu dibuktikan kebenarannya oleh sejarawan. 
Dalam  pengantar  novel  Lubang  Buaya,  Saskia  Wieringa  (2003),  novelis  itu
menulis,  banyak  sejarawan  masa  kini  berpendapat  bahwa  semua  sejarah  adalah  fiksi.
Tidak ada fakta, hanya discourse yang selalu berubah dan dipengaruhi kekuasaan,  kata
novelis  yang  juga  antropolog  itu. Kalau  sejarah  adalah  fiksi,  apakah  fiksi  juga  berarti
sejarah? 
Saya tidak ingin terjebak dalam labirin telor ayam: mana yang lebih dulu di antara
keduanya. Yang  jelas,  sedikit  berbeda  dengan  Saskia,  saya  berpendapat  bahwa  sebuah
karya sastra yang baik senantiasa merekam denyut nadi masyarakat  tempat karya sastra
itu  dilahirkan.  Sastrawan  sebagai  representasi  masyarakatnya  merekam  dengan  baik
pikiran dan perasaan masyarakat sezamannya. 
Lebih  lanjut, Saskia Wieringa mengakui  bahwa  novel Lubang Buaya  berangkat
dari  hasil  penelitiannya  pada  1980-an  mengenai  kekerasan  yang  dialami  perempuan-
perempuan  Gerwani.  Hasil  penelitian  itu  pun  sudah  dibukukan  dalam  Penghancuran
Gerakan Wanita di Indonesia (1999). Tidak mengherankan jika ada fragmen dalam novel
itu yang terbaca dengan jelas sama dengan pengakuan Yanti dalam buku SPKT 65. 
Yang  cukup mengherankan  adalah  adanya  kesamaan  fragmen  dalam Kalatidha
karya  Seno Gumira Ajidarma  (2007)  dengan  pengakuan Darmi  dalam  buku  SPKT  65.
Dalam  novel  Seno  itu,  seorang  gadis  kecil  menyaksikan  pembakaran  rumahnya  dan
pembunuhan  seluruh keluarganya,  termasuk  saudara kembarnya, hanya karena  ayahnya
dituduh sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Karena gadis kecil itu tidak
bisa  menerima  kenyataan  yang  dilihatnya,  dan  tidak  mampu  memahami  peristiwa  itu
dengan  akal  sehatnya,  akhirnya  ia  menjadi  gila.  Berangkat  dari  sinilah  cerita  Seno
bergulir  hingga  menarik  pembaca  untuk  segera  menuntaskan  pembacaan  atas  novel
setebal 234 halaman itu. 
Sementara dalam SPKT 65, Darmi yang  saat  itu menjadi penari  istana di zaman
Soekarno,  tidak  saja menyaksikan  suami  dan  kedua mertuanya  dibunuh  dan  rumahnya
dibakar, melainkan  ia mengalami penyiksaan mental yang  luar biasa.  Ia bukan  anggota
Gerwani,  ia  hanya  penari,  tapi  suaminya  anggota  PKI. Gara-gara  itulah  ia  diarak  oleh
orang  banyak yang  anti PKI  dalam keadaan  telanjang  bulat,  berjalan  kaki mengelilingi
desa, dan begitu sampai pada tahap pemeriksaan di pos tentara, ia disuruh menari di atas
meja  dalam  keadaan  telanjang  bulat.  Dan,  jika  ia  menolak  menari  dan  menolak
diperlakukan tidak senonoh, maka tawanan lain akan dijadikan sasaran penganiayaan. 
Selama  30  tahun  di  masa  pemerintahan  rezim  Soeharto,  setiap  mendengar
gamelan Bali, Darmi mengalami  trauma  yang  luar  biasa.  Ia merasa  bahwa  tari  adalah
jiwanya,  dan  bunyi  gamelan  selalu  memanggil-manggilnya  untuk  menari.  Namun,
bersamaan dengan bunyi gamelan itu, saat itu pula ia merasa takut dan membencinya. Ini
akibat penganiayaan yang terjadi pasca 30 September 1965 yang dialaminya di Bali. 
Dengan demikian, fakta yang terbaca dalam SPKT 65 lebih mengguncang nurani
pembacanya  dibandingkan  dengan  cerita  dalam  novel  Lubang  Buaya  dan  Kalatidha.
Meskipun begitu, apa yang dihasilkan Saskia dan Seno  tersebut memperlihatkan bahwa
sastra  bisa menjadi  strategi  untuk mengungkap  kabut  politik  yang  terjadi  di  negeri  ini,
termasuk peristiwa pembunuhan massal 1965/1966 dan peristiwa perkosaan massal pada
Mei 1998. 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   24  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 

Dalam diskusi novel Kalatidha di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia  (FIB  UI)  pada  Selasa,  8  April  2008,  sejarawan  Hilmar  Farid  mengatakan
bahwa dalam menggambarkan korban kekejaman 1965/1966, Seno sengaja menggunakan
tokoh  aku  yang  gila  untuk  menembus  keterbatasan  ekspresi  dalam  mengungkap
kekerasan  dan  menembus  keterbatasan  hukum  untuk  mengungkap  fakta.  Batas  antara
fakta  dan  fiksi  menjadi  hilang,  kadang-kadang  tokoh  aku  dalam  Kalatidha
menggambarkan  kenyataan,  kadang-kadang  berada  dalam  dunia  kabut  yang  tak
terumuskan.  Dalam  pembacaan  Hilmar  Farid,  sastra  bisa  menjadi  medium  untuk
mengungkap fakta, kenyataan, dan kebenaran. 
Sementara  Melani  Budianta,  Guru  Besar  FIB  UI  yang  juga  tampil  sebagai
pembicara  dalam diskusi  tersebut, menambahkan  bahwa  fiksi  seperti  yang  ditulis Seno
tersebut  berpeluang  untuk  menyembuhkan  luka  yang  terjadi  di  masa  lalu.  Tokoh
perempuan  kembar  dalam  Kalatidha  dibaca Melani  sebagai  metafora  yang  digunakan
Seno untuk menggambarkan peristiwa 1965/1966.  
Tokoh  yang  satu  mati  terbunuh,  yang  menyimbolkan  masa  lalu  yang  penuh
kekerasan. Tokoh yang satu lagi menjadi gila karena tak mampu melihat kekerasan, yang
menyimbolkan  masa  kini  yang  masih  gagap  melihat  sejarahnya  sendiri.  Dilihat  dari
tataran  mental  psikologi,  novel  Kalatidha  menampung  atmosfir  refleksi,  kegilaan,
perasaan  marah  dan  dendam,  bangkitnya  belas  kasih,  pemulihan  dari  luka,  dan
transendensi.  Semuanya ada dalam novel itu,  kata Melani. 
Meskipun  dalam  diskusi  tersebut  Seno  mengakui  bahwa  Kalatidha  merupakan
novel  pesanan,  karena  ada  pihak  yang  memesannya  untuk  menuliskan  peristiwa
kekerasan  itu,  saya  tetap  menganggap  bahwa  Kalatidha  merupakan  novel  Indonesia
modern  yang  penting,  yang  menurut  saya  menjadi  novel  terbaik  pada  2007,  karena
merefleksikan  sebuah  peristiwa  yang  tidak mungkin  terlupakan  oleh  bangsa  Indonesia:
pembunuhan massal  1965/1966. Tapi,  bukan  hanya  karena  itu  novel  ini menjadi  novel
terbaik.  Bahasa  yang  digunakan  Seno  sangat  kuat.  Ia  seperti  memainkan  sebuah
orkestrasi yang demikian indah, meskipun lagunya menyayat hati. 
Novel Kalatidha mengajak pembacanya untuk mengungkap kabut politik
yang menyelimuti sejarah nasional Indonesia.  
Polemik Sastra Cyberpunk
Sastrawan  generasi  cyber  di  Indonesia  telah  lahir  bersamaan  dengan maraknya
penggunaan internet sebagai media penyampaian atau media ekspresi karya sastra, selain
di media  cetak  (tulis) dan media  lisan. Deklarasi kelahiran generasi baru dalam sejarah
sastra  Indonesia  ini  ditandai  dengan  peluncuran  situs  sastra  www.cybersastra.net

dan
kumpulan  puisi  Graffiti  Gratitude  yang  dieditori  oleh  Cunong  Nunuk  Suraja,  Medy
Loekito, Nanang Suryadi, Sutan Iwan Soekri Munaf, dan Tulus Widjanarko pada 9 Mei
2001 di Hotel Sahid Jaya, Jakarta.
Sejak  lahirnya  generasi  baru  dalam  sastra  Indonesia  tersebut,  selain  kritik  yang
wajar,  hantaman  demi  hantaman  datang  silih  berganti,  sepertinya  para  Orang  Tua
dalam  sastra  Indonesia  tidak  rela menerima  kehadiran  seorang  Bayi  yang  lahir  tanpa
proses  perkawinan  yang  sah  atau  dapat  dikatakan  seperti  Anak  Haram  atau  Anak
Jadah . 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   25  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
Tidak kurang dari seorang Sutardji Calzoum Bachri, yang sampai saat  ini masih
mengaku sebagai Presiden Penyair Indonesia, Ahmadun Yosi Herfanda, Redaktur harian
Republika,  sampai  Ahmad  Syubbanuddin  Alwy,  yang  mengaku  sebagai  penyair  sufi,
serta beberapa nama lainnya, memberikan reaksi yang berlebihan, tidak proporsional, dan
cenderung tidak obyektif.
Sebut  saja  Sutardji  yang  lebih  mempersoalkan  kemasan  (kulit)  daripada  isi,
bahkan katanya,  Tai yang dikemas secara menarik akan lebih laku dibandingkan dengan
puisi yang dikemas secara asal-asalan.  Kata-kata Presiden Penyair Indonesia seperti  itu
ditinggalkan  Sutardji  di  Hotel  Sahid  dalam  sebuah  diskusi  peluncuran  buku  Graffiti
Gratitude  yang  belum  tuntas.  Dan  kita  sangat  menyayangkan  seorang  Sutardji  yang
dikenal sebagai penyair sufi itu lebih mempersoalkan kemasan daripada isi.
Reaksi  serupa  juga  datang  dari  Maman  S.  Mahayana,  dosen  Fakultas  Sastra
Universitas  Indonesia  (sekarang  Fakultas  Ilmu  Pengetahuan  Budaya UI),  yang  enggan
menyebut para penyair yang karyanya masuk dalam Graffiti Gratitude sebagai  penyair ,
melainkan  sebagai  penulis  puisi .  Komentar  seperti  ini  juga  dilontarkan  Ahmad
Syubbanuddin Alwy dalam beberapa tulisannya di harian Pikiran Rakyat. Dan yang lebih
fatal  adalah  pernyataan Ahmadun Yosi Herfanda  yang mengatakan  sastra  cyber,  yakni
karya  sastra  yang muncul  di  internet  (termasuk  di  cybersastra.net)  tak  ubahnya  seperti
tong sampah, karena puisi-puisi di  internet  tersebut ditolak pemuatannya di surat kabar-
surat kabar. Sebuah pernyataan yang fascis, kata Saut Situmorang (2004).
Dalam salah satu tulisannya, Alwy meminta argumentasi dari para penggagasnya
atas  lahirnya sastrawan generasi cyber, seolah-olah dia memiliki argumentasi yang kuat
kenapa dia menjadi penyair. Ada kesan pula ia punya argumentasi yang kuat kenapa dia
menjadi penyair sufi. Padahal, kenapa dia menjadi manusia dan kenapa  lahir di sini pun
tak  akan  mampu  memberi  argumentasi  seperti  yang  dipaksakannya  harus  ada  pada
sastrawan  cyber.  Seperti mau memasuki  sebuah  perkampungan,  sastrawan  cyber  harus
menunjukkan  kartu  identitas.  Kenapa  memahami  sebuah  generasi  dari  argumentasi ,
kartu identitas, dan bukan dari karya yang dihasilkan oleh generasi tersebut?
Saya  seperti melihat Sisyphus yang mendorong batu ke bukit Tartar, dan begitu
sampai di puncak, batu  itu menggelinding ke bawah kembali. Setelah  itu Sisyphus akan
mendorong batu  itu ke  atas kembali, menggelinding, dorong  lagi,  terus-menerus,  selalu
berulang. Dan sikap  Orang Tua  dalam dunia sastra Indonesia seperti layaknya Sisyphus
yang  melakukan  pekerjaan  sia-sia  seperti  itu.  Pertanyaan  yang  sama,  pelecehan  yang
sama, yang itu-itu saja, selalu dilontarkan  Orang Tua  pada kelahiran generasi baru.
Sepertinya  tidak  ada  pertanyaan  cerdas  yang  perlu  dilontarkan  pada  seorang
Anak  Haram  sekalipun. Memang,  ada  satu-dua  di  antara  mereka  itu  yang memiliki
sikap  arif  dan  bijak,  seperti  Jakob  Sumardjo  yang  mengkritisi  Cyberpuitika,  dengan
mengatakan perlunya eksplorasi yang semaksimal mungkin pada mesin digital. Sepedas
apa pun ungkapan Jakob Sumardjo, namun jika diniatkan untuk sebuah karya yang lebih
baik,  maka  sudah  sewajarnya  hal  itu  menjadi  pemacu  atau  meminjam  istilah  Rendra,
menjadi  daya  hidup  bagi  sebuah  generasi.  Demikian  halnya  dengan  gugatan  Juniarso
Ridwan,  yang  memberi  penekanan  yang  sama  dengan  Jakob  Sumardjo.  Karena,
bagaimanapun, tidak ada karya manusia yang sempurna di dunia ini. Begitu juga dengan
karya  sastrawan  generasi  cyber  yang  memang  masih  memerlukan  waktu  untuk  tidak 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   26  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
sekadar mewujudkan eksistensi, tapi juga memberikan arti pada sesuatu yang kelak retak
ini, sebagaimana yang dikatakan Goenawan Mohamad.
Tapi,  ketika  Jakob  Sumardjo mengatakan  bahwa  sastrawan  cyber masih  sangat
terpengaruh dengan tradisi sebelumnya, yakni tradisi tulisan, Jakob seperti melihat sastra
cyber  sebagai  Alien ,  makhluk  yang  sama  sekali  baru,  aneh,  yang  haram
menggunakan  kata-kata  atau  medium  bahasa  dalam  pengungkapan  pesan  atau  makna
dalam  karya  sastra  yang  ditampilkan  di  Cyberpuitika.  Tidakkah  hal  yang  sama  juga
tampak dalam karya sastra tulis sekarang ini yang masih berkutat dalam tradisi kelisanan?
(Damono, 1999b).
Dan  Juniarso Ridwan, yang mempertanyakan  apakah  jika  tanpa kata-kata,  suatu
karya masih  layak  disebut  sastra,  seperti mengulang  pertanyaan  yang  sama  ketika  kita
menghadapi karya Danarto, sebuah puisi konkret yang berisi sembilan kotak itu. Apakah
itu  bukan  sastra?  Aneh  rasanya  kalau  puisi  konkret  Danarto  diterima  sebagai  sebuah
karya  sastra,  sedangkan  Cyberpuitika  tidak.  Selama  masih  ada  kata,  makna  yang
tersembunyi,  simbol,  metafora,  repetisi,  dan  piranti  sastra  lainnya,  maka  sastra  cyber
masih sah dianggap sebagai karya sastra.
Meskipun sastrawan generasi cyber dianggap sebagai  Anak Haram  dalam sastra
Indonesia,  maka  ia  pun  memiliki  hak  hidup  yang  sama  dengan  sastrawan  generasi
lainnya. Meskipun sastra cyber dianggap sebagai  Tong Sampah  dalam sastra Indonesia,
maka  ia  pun  memiliki  hak  hidup  yang  sama  dengan  tong-tong  sampah  dalam  sastra
Indonesia  lainnya.  Selama  masih  ada  pemikiran  elu-elu  gue-gue  (istilah  Juniarso
Ridwan yang  relevan ditujukan pada  semua pihak)  ataupun  ada pemikiran  wama  kola
Alwy , maka kehidupan  sastra  Indonesia  tidak  akan  sehat,  sebagaimana yang kita  lihat
sekarang ini, di mana sejarah sastra Indonesia masih terbelenggu dalam kanonisasi, masih
tergantung  pada  kata  pemegang  otoritas,  kecuali  disertasi  Faruk  yang  telah  dibukukan,
Novel-Novel Indonesia: Tradisi Balai Pustaka 1920-1942 (2002).
Dan  pemegang  otoritas  sastra  Indonesia  pertama  di  Indonesia  adalah  kolonial
Belanda,  yang  membentuk  Commissie  voor  de  Indlandsche  School  en  Volkslectuur
(Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi/Inlander dan Bacaan Rakyat), yang  selanjutnya
mendirikan Balai  Pustaka.  Lembaga  ini  pada  hakikatnya  adalah membonsai  pemikiran
masyarakat  (yang  disebut  inlander  oleh  kumpeni)  yang  menerbitkan  berbagai  karya
sastra  dengan  menggunakan  bahasa  Melayu  campuran  (baik  oleh  kalangan  pribumi,
kaum peranakan Cina, maupun peranakan Eropa), dan  tidak  terikat dengan bahasa baku
yang  dimaui  kumpeni,  yakni  sesuai  buku  Kitab  Logat Melajoe  (1901)  karya  Charles
Adriaan van Ophuijsen  (yang  sangat dibantu oleh Engku Nawawi gelar Sutan Makmur
dan Muhammad  Taib  Sutan  Ibrahim),  yang  sekarang  ini  kita  kenal  sebagai  ejaan  van
Ophuijsen. Sementara sastra Indonesia yang terbit di luar Balai Pustaka mendapat julukan
yang  tidak  mengenakkan  oleh  kumpeni  (dan  dilestarikan  oleh  penulis  sejarah  sastra
Indonesia  sampai  sekarang,  seperti  Ajip  Rosidi  dan  Pamusuk  Eneste),  yakni  sebagai
Bacaan Liar ,  yang  boro-boro  dicatat  oleh  penulis  sejarah  sastra  Indonesia. Dan  baru
kali  ini  ada  kesadaran  dari  penerbit  besar  seperti Gramedia Group  untuk menerbitkan
kembali karya-karya sastra Cina peranakan yang dulu teralienasi, terkucilkan.
Itu  terjadi  dalam  kurun waktu  yang  cukup  lama,  hampir  satu  abad  sejak  tahun
1900. Kini, hal yang  sama dialami oleh  sastrawan generasi  cyber, di mana karya-karya
yang  ditelurkan  melalui  internet,  yang  diamini  sebagai  karya  yang  instan  karena 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   27  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
canggihnya  teknologi  internet,  disebut  sebagai  Anak  Haram  atau  Tong  Sampah .
Gaya  kumpeni  yang  dipakai  kembali  oleh Ahmad  Syubbanuddin Alwy  dan Ahmadun
Yosi Herfanda  itu disematkan pada  sastrawan generasi cyber, yang hendak mengatakan
Yang bukan kampret tidak ambil bagian  (plesetan dari ungkapan Chairil Anwar).
Warisan  Sisyphus  pun  ternyata  kekal  sampai  sekarang  ini.  Orang  Tua  dalam
sastra  Indonesia  seringkali  melontarkan  pertanyaan  yang  sama,  pelecehan  yang  sama,
yang  seharusnya  dibuang  ke  tong  sampah,  yang  sebenarnya  sia-sia.  Saya  ingin
mengatakan, bahwa  lahirnya sastrawan generasi cyber  ini  ibarat bola salju yang  telanjur
menggelinding,  yang makin  lama makin membesar  dan melibas  kerikil-kerikil  bahkan
tembok yang mencoba menghalaunya. Bola salju itu terus menggelinding hingga entah

sesuatu yang tak seorang pun mampu menjawabnya.
Pada 2008  ini kita bisa melihat perkembangan sastra cyber  itu. Setiap sastrawan
akan memiliki  situs  atau website  sendiri. Setiap  sastrawan akan bersuara  sesuai dengan
hati  nuraninya  sendiri.  Tanpa  sensor  dari  redaktur-redaktur  tertentu.  Cybersastra  yang
dikatakan  tong  sampah  oleh  Ahmadun  Y.  Herfanda  itu  kini  menjelma  menjadi  ruang
publik  yang  penuh  warna.  Kegiatan  sastra  di  Indonesia  semakin  marak  dengan
berkembangnya  cybersastra. Komunikasi menjadi  lebih  cepat  dan  tepat  sasaran  dengan
adanya internet. Produksi sastra akan meningkat berlipat-lipat.
Sastra  akan  dihasilkan  dan  dinikmati  dengan  segera.  Begitu  karya  kita  selesai
ditulis,  langsung  bisa  dipublikasikan  (yakni  melalui  blog  atau  situs  pribadi).  Kualitas
karya sastra tidak lagi ditentukan oleh selera satu-dua redaktur sastra, tapi ditentukan oleh
pembaca  sastra cyber pada umumnya. Selain  itu, karya  sastra cyber bisa diakses  secara
luas,  hingga  ke  luar  negeri.  Tidak  heran  media  massa  di  Indonesia  juga  memerlukan
publikasi melalui  internet. Lihat  saja Kompas,  Tempo, Antara, Media  Indonesia,  Sinar
Harapan,  SCTV,  atau media  besar  lainnya,  pasti memiliki  situs  internet. Artinya  apa?
Artinya  publikasi melalui  internet  itu  penting,  karena  sangat mengikuti  perkembangan
zaman.  
Penutup 
Aku tulis pamphlet ini
Karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya
Matahari yang tenggelam diganti rembulan
Lalu besok pagi pasti terbit kembali
Dan di dalam air lumpur kehidupan
Aku melihat bagai terkaca:
Ternyata kita, toh, manusia!     
Rendra 
Apa  yang  dapat  dipelajari  dalam  penulisan  sejarah  sastra  Indonesia?  Terbukti
bahwa ketika politik memasuki wilayah sastra demikian dalam, sebagaimana Lekra yang
mengusung semboyan  politik adalah panglima , maka yang terjadi adalah keterpurukan.
Memang,  sastrawan  sebaiknya  mengerti  masalah  politik,  dan  harus  bersikap  ketika
melihat  ketidakadilan  di  depan  matanya,  merespons  melalui  karya  sastra.  Hanya  saja, 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   28  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
ketika politik dipaksakan ke seluruh bidang kehidupan, termasuk ke wilayah sastra, maka
yang muncul  adalah  kejenuhan  dan  kejumudan. Karena,  sastrawan  tidak  dapat  dipaksa
untuk melulu bicara politik. Sastrawan  juga  tidak bisa ditekan dengan kebijakan politik
yang  membelenggu  dan  memberangus  gagasan.  Adakalanya  seorang  sastrawan  ingin
merenungi hidup ini, ingin bicara tentang cinta, atau kematian. Tidak harus bicara tentang
revolusi apalagi revolusi yang belum selesai.
Seniman  dan  sastrawan  tidak membutuhkan  instruksi  seperti  yang  terbaca  pada
Mukaddimah Lekra, melainkan membutuhkan kebebasan, meskipun kebebasan itu harus
direbut sendiri. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, setelah peristiwa Gerakan
30 September 1965 berakhir dan Lekra mengalami nasib naas, tidak berarti bahwa karya
sastra yang telah mereka hasilkan dianggap tidak ada.
Dalam  penulisan  sejarah  sastra,  tidak  ada  istilah  kalah  dan menang. Keduanya
harus  dicatat,  keduanya  dapat  tempat,  ujar  Chairil  Anwar.  Demikian  halnya  dengan
penulisan sejarah sastra  Indonesia 1960-an yang kita  tahu pasti menyinggung sastrawan
Lekra dan sastrawan Manikebu. Keduanya harus diperlakukan sama oleh sejarawan. Kita
harus bersikap adil terhadap semua karya sastra yang mereka hasilkan. Jika kita memberi
penghargaan yang sama pada karya sastra yang lahir dari sastrawan Lekra dan sastrawan
Manikebu,  maka  yang  tampak  adalah  perbedaan tematik  dan  stilistik atau
keberagaman, yang seyogyanya kita anggap sebagai kekayaan khasanah sastra Indonesia.
Kaya dalam hal estetika.
Pada  mulanya  adalah  pikiran/pemikiran,  yang  membuat  sastrawan  Lekra
memaksakan  konsep  realisme  sosialis ,  yang  menginginkan  semua  sastrawan
menciptakan  karya  sastra  revolusioner. Akan  tetapi,  ternyata,  tidak  semua  orang  dapat
ditundukkan  oleh  kekuasaan,  terutama  anak-anak  muda yang  memiliki  jiwa  yang
bebas dan mereka memiliki  pemikiran  tersendiri.  Setiap  ada  upaya  satu  pihak  untuk
mendominasi  pihak  lain,  atau melakukan  hegemoni  terhadap  semua  pihak, maka  akan
menimbulkan  resistensi  atau  perlawanan  dari  pihak  lain.  Sudah  menjadi  hukum  alam
bahwa  semakin  besar  penindasan  yang  dilakukan  penguasa, maka  semakin  besar  pula
resistensi  terhadap  penguasa.  Dan,  Lekra  sudah  melakukan  dan  memetik  hasilnya.
Sekarang tinggal kita mengambil hikmah di balik peristiwa itu.
Dalam  keadaan/posisi  berada  di  atas  roda,  apakah  kita  juga  akan  menindas
sastrawan  Lekra  yang  tengah  berada  dalam  posisi  di  bawah  roda?  Misalnya,  tidak
memasukkan karya-karya sastrawan Lekra dalam sejarah sastra Indonesia 1960-an? Saya
memilih  untuk  menyertakan  karya  mereka  dalam  sejarah  sastra  Indonesia  1960-an.
Persoalan eternal, atau abadi tidaknya sebuah karya, akan ditentukan oleh sang waktu dan
pembaca di masa yang  akan datang. Apakah mereka  akan menerimanya  atau  tidak.  Itu
saja.  
Epilog: Kronik Sejarah Sastra Indonesia  
1908:  Organisasi  pemuda  pertama,  Boedi  Oetomo,  lahir  pada  21 Mei  1908. Misinya
mengubah struktur sosial. Suatu  jabatan harus dipegang oleh ahlinya, dan bukan
hanya  dimonopoli  kaum  ningrat.  Dalam  kongres  Jong  Java  di  Yogyakarta,  5
Oktober  1908,  dr.  Tjipto  Mangunkusumo  mencita-citakan  suatu  pendobrakan 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   29  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
masyarakat  kolonial  dan  tradisional  dengan  segala  kekolotan,  statisisme,
diskriminasi,  dan  tradisi  yang menekan.  Untuk mencapai  tujuan  itu  diperlukan
gerakan  yang  lebih  bersifat  politik  radikal  (Kartodirdjo,  1993).  Kesadaran
kebangsaan mulai muncul  sebagai  dampak  dari  politik  etik  yang  diserukan  van
Deventer. 
1917:   Penerbit  Balai  Pustaka  berdiri  pada  22  September  1917.  Karya  sastra  yang
diterbitkan tidak boleh bertentangan dengan politik pemerintah kolonial Belanda.
Akibatnya,  isi  novel  Salah  Asuhan  karya Abdul Muis  berbeda  jauh  dengan  isi
aslinya. Novel Belenggu  ditolak  oleh Penerbit Balai Pustaka. Novel-novel  yang
dicap  sebagai  bacaan  liar ,  novel  picisan ,  dan  novel  yang  dinilai  dapat
meracuni masyarakat tidak bisa diterbitkan Balai Pustaka. Karena itu, karya-karya
Marco Kartodikromo, Semaoen, Kwee Tek Hoay, Tan Boen Kim, dan Liem Wie
Leng  yang  mengangkat  tema-tema  antiimperialisme  dan  menggunakan  bahasa
Melayu Rendah tidak diterbitkan Balai Pustaka. 
1919:  Novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo terbit. 
1920:  Novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar terbit. Novel Siti Nurbaya karya
Marah Rusli terbit. 
1922:  Novel  politik  Hikayat  Kadirun  karya  Semaoen  terbit.  Nur  Sutan  Iskandar
menerbitkan Apa Dayaku  karena Aku Perempuan. Buku  puisi Tanah Air  karya
Muhammad Yamin terbit. 
1924:  Novel Rasa Merdika karya Mas Marco Kartodikromo terbit. Buku Bebasari karya
Roestam Effendi terbit.  
1928:  Dalam kongres pemuda kedua di Jakarta, 28 Mei 1928, pemuda-pemuda
Indonesia mengeluarkan resolusi berupa Sumpah Pemuda. Bahasa Melayu
ditetapkan menjadi bahasa Indonesia. Novel Salah Asuhan karya Abdul Muis
terbit. Nakah drama berbahasa Indonesia, Ken Arok dan Ken Dedes karya
Muhammad Yamin dipentaskan di kongres pemuda. 
1933:  Majalah Pujangga Baru terbit. Selasih menerbitkan Kalau Tak Untung. 
1934:   J.E. Tatengkeng menerbitkan Rindu Dendam. 
1935:   Esai Sutan Takdir Alisjahbana di majalah Pujangga Baru memicu Polemik
Kebudayaan. STA menyarankan agar kebudayaan Indonesia diarahkan ke Barat.
Polemik ini kemudian dibukukan oleh Achdiat Kartamihardja dalam Polemik
Kebudayaan. 
1936:  Novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana terbit. I Gusti Nyoman
Panji Tisna menerbitkan Sukreni Gadis Bali. 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   30  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 

1937:  Amir Hamzah menerbitkan Nyanyi Sunyi. 
1938:  Novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka terbit. 
1940:  Novel Belenggu karya Armyn Pane terbit. Novel Suwarsih Djojopoespito, Buiten
het Gareel ( Di Luar Jalur ) dilarang oleh pemerintah Belanda. 
1941:  Goenawan Mohamad lahir. 
1942:   Jepang masuk dan menjajah Indonesia. Pembentukan Keimin Bunka Sidhoso
(Kantor Pusat Kebudayaan) melahirkan karya-karya seni yang bersifat
propaganda untuk kemenangan perang Asia Timur Raya, serta antiAmerika dan
sekutu-sekutunya. 
1945:   Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Tapi,
Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia. Belanda ingin tetap menguasai
Indonesia dengan mendirikan negara-negara boneka. Akibatnya, banyak seniman
yang enggan menggunakan warna daerah, karena akan dicap sebagai antek-antek
Belanda. 
1946:   Seniman dan sastrawan mendirikan Gelanggang Seniman Merdeka pada 19
November 1946. Mereka adalah Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Mochtar
Apin, Henk Ngantung, Basuki Resobowo, dan Baharuddin M.S. 
1948:  Buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma karya Idrus terbit. 
1949:  Buku Deru Campur Debu karya Chairil Anwar terbit. Chairil Anwar dijuluki
sebagai Pelopor Angkatan 45 oleh HB Jassin. Achdiat Kartahadimadja
menerbitkan Atheis. 
1950:   Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) berdiri pada 17 Agustus 1950. Lekra
mengembangkan paham  seni untuk rakyat  dan  realisme sosialis  di lapangan
kebudayaan. Pada 23 Oktober 1950, Asrul Sani mengumumkan  Surat
Kepercayaan Gelanggang . Usmar Ismail menerbitkan Sedih dan Gembira. 
1951:  Majalah Basis terbit. 
1952:  Buku Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis terbit. Utuy Tatang Sontani
menerbitkan Awal dan Mira. S. Rukiah menerbitkan Tandus. 
1953:   Sitor Situmorang menerbitkan Surat Kertas Hijau. 
1954:  Buku Kesusastraan Indonesia dalam Kritik dan Esai karya HB Jassin terbit.  
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   31  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
1955:   Pemilihan Umum pertama digelar. 
1956:  Rendra menerbitkan Ballada Orang-orang Tercinta. 
1959:   Sepanjang  1950-an  timbul  pergolakan  di  daerah-daerah  yang  disebabkan
ketidakpuasan  perimbangan  pusat-daerah.  Sistem  parlementer  yang  diterapkan
mengakibatkan  pemerintahan  tidak  pernah  stabil.  Soekarno menyerukan  negara
dalam keadaan perang. Ia juga membubarkan Konstituante pada Juli 1959. Dekrit
presiden  dikeluarkan.  Dimulailah  pemerintahan  otoriterian  Soekarno  yang
memberlakukan demokrasi terpimpin. Ajip Rosidi menerbitkan Cari Muatan. 
1962:  Abdullah  S.P.  dan  Pramoedya Ananta Toer menuduh Hamka  sebagai  plagiator.
Novel Tenggelamnya Kapal van Der Wicjk karya Hamka dituduh sebagai plagiat
dari novel Majdulin karya Al Manfaluthi, yang merupakan  terjemahan dari Sous
les  Tilleuls  karya  Alphonse  Karr.  Tuduhan  itu  dimuat  di  Bintang  Timur  dan
Harian Rakyat. Motinggo Busye menerbitkan Malam Jahanam. 
1963:   Sastrawan-sastrawan muda melahirkan Manifes Kebudayaan sebagai jawaban
menolak seruan  Politik sebagai panglima  yang dikumandangkan Lekra. 
1964:   Pada Maret 1964, para sastrawan menggelar Konferensi Karyawan Pengarang se-
Indonesia (KKPI). Soekarno melarang Manifes Kebudayaan pada 8 Mei 1964.
Buku Revolusi di Nusa Damai karya Ktut Tantri terbit. 
1965:   Terjadi peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal yang disebut sebagai
Dewan  Jenderal  oleh  sebuah  gerakan  yang  menamakan  dirinya  Gerakan  30
September  yang  dipimpin  Letkol  Untung.  Pangkostrad Mayjen  Soeharto,  satu-
satunya  petinggi  Angkatan  Darat  yang  selamat  dalam  aksi  pembunuhan  itu,
mengambil  alih  kepemimpinan  di Angkatan Darat. PKI  dituduh  berada  di  balik
aksi  itu.  Setelah  PKI  dilarang,  terjadi  pembunuhan  massal.  Lekra  dilarang.
Banyak sastrawan Lekra yang dipenjara, sebagian hidup sebagai sastrawan eksil.
Perempuan  aktivis  yang  tergabung  dalam Gerakan Wanita  Indonesia  (Gerwani)
banyak  yang  menjadi  korban  perkosaan.  Buku-buku  karya  sastrawan  Lekra
dilarang. 
1966:  Majalah  sastra Horison  terbit. H.B.  Jassin mendeklarasikan Angkatan  66  dalam
sastra Indonesia. Majalah Budaya Jaya terbit pada tahun yang sama. Buku Tirani
dan Benteng karya Taufiq Ismail terbit. Buku ini terbit ulang secara komplet pada
1993. 
1968:  Cerpen  Langit Makin Mendung  karya Ki Panjikusmin  terbit dan bikin heboh,
karena dianggap menghina umat  Islam. Pemimpin Redaksi majalah Sastra, H.B.
Jassin diadili. H.B. Jassin juga menerbitkan Angkatan 66: Prosa dan Puisi. Iwan
Simatupang menerbitkan Merahnya Merah.  
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   32  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
1970:  Remy Sylado memperkenalkan puisi mbeling. 
1971:  Buku Sandhyakala Ning Majapahit karya Sanusi Pane terbit. Majalah Tempo
terbit. Goenawan Mohamad sebagai Pemimpin Redaksi. 
1973:  Kritik sastra aliran Rawamangun yang diusung dosen sastra Universitas Indonesia
(UI), yakni M.S. Hutagalung, M. Saleh Saad, dan J.U. Nasution, mendapat reaksi
dari  Goenawan  Mohamad  dan  Arief  Budiman  yang  memperkenalkan  kritik
ganzheit atau gestalt sebagai alternatif kritik analitik. Pada tahun ini pula Sutardji
Calzoum Bachri mengeluarkan Kredo  Puisi-nya. Dami N.  Toda mengibaratkan
Sutardji  Calzoum  Bachri  dan  Chairil Anwar  sebagai  dua  sisi mata  uang. N.H.
Dini menerbitkan Pada Sebuah Kapal. 
1974:   Sastrawan muda Bandung menggelar Pengadilan Puisi. Slamet Sukirnanto
bertindak sebagai Jaksa Penuntut Umum (JPU). 
1975:  Asrul Sani menerbitkan Mantera. 
1977:  Ajip Rosidi menerbitkan Laut Biru Langit Biru. 
1978:   Iwan Simatupang mendapat penghargaan South East Asia Write Award  (Hadiah
Sastra  ASEAN)  dari  pemerintah  Thailand.  Para  sastrawan  yang  mendapat
penghargaan serupa pada tahun-tahun setelahnya adalah Sutardji Calzoum Bachri,
Putu  Wijaya,  Goenawan  Mohamad,  Marianne  Katoppo,  Y.B.  Mangunwijaya,
Budi Darma, Abdul Hadi W.M., Sapardi Djoko Damono, Umar Kayam, Danarto,
Gerson  Poyk, Arifin  C. Noer,  Subagio  Sastrowardoyo, A.A. Navis,  Ramadhan
K.H.,  Taufiq  Ismail,  Ahmad  Tohari,  Rendra,  Seno  Gumira  Ajidarma,  N.
Riantiarno,  Kuntowijoyo, Wisran  Hadi,  Saini  K.M.,  Darmanto  Jatman,  Gus  tf.
Sakai, Acep Zamzam Noor, Sitor Situmorang, dan Suparto Brata. 
1980:   Bumi Manusia  dan  Anak  Semua  Bangsa  karya  Pramoedya  Ananta  Toer  terbit.
Buku itu diikuti dengan terbitnya Jejak Langkah (1985) dan Rumah Kaca (1988).
Buku Potret Pembangunan dalam Puisi karya Rendra terbit. 
1981:  Buku Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya terbit. Buku Pengakuan
Pariyem karya Linus Suryadi terbit. 
1982:   Pramoedya Ananta Toer menerbitkan Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-
Indonesia. 
1984:  Dalam sarasehan kesenian di Solo, 28 Oktober 1984, Ariel Heryanto
memperkenalkan sastra kontekstual, yakni sejenis pemahaman atas seluk-beluk
kesusastraan dengan meninjau kaitannya dengan konteks sosial historis
kesusastraan yang bersangkutan.  
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   33  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
1985:  Claudine Salmon menerbitkan buku Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa
Melayu. Ariel Heryanto menerbitkan Perdebatan Sastra Kontekstual. 
1987:   Linus Suryadi Ag. menerbitkan buku antologi puisi Indonesia secara lengkap,
Tonggak. Yayasan Lontar berdiri. 
1988:  Dalam seminar Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) di Padang,
Subagio Sastrowardoyo mengusulkan teori dan kritik sastra yang khas Indonesia. 
1990:   Pementasan Suksesi Teater Koma yang disutradarai N. Riantiarno dilarang.
Sebelumnya, pada tahun yang sama, Teater Koma mementaskan Konglomerat
Burisrawa yang mengkritik kartel bisnis raksasa di Indonesia. 
1991:  Nirwan Dewanto membacakan pidato kebudayaan dalam kongres kebudayaan
keempat. Menurut dia, setiap manusia berpotensi untuk menciptakan kebudayaan.
Ia mengusung semangat pluralisme dan multikulturalisme. Pidatonya dibukukan
dalam Senjakala Kebudayaan. 
1994:  Majalah Tempo, Editor, dan tabloid Detik dibredel. Majalah Kalam terbit.
Kusprihyanto Namma (Ngawi), dan Beno Siang Pamungkas (Tegal) mengusung
Gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman dan menghujat  Pusat  dan  elit sastra
nasional  sebagai sumber kekuasaan yang mendominasi  sastra koran . 
1995:  D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail menerbitkan buku Prahara Budaya. Pramoedya
Ananta Toer menerima penghargaan hadiah Magsaysay. Taufiq Ismail dan
Mochtar Lubis memprotes pemberian penghargaan itu. Muncul polemik hadiah
Magsaysay. AS Laksana menerbitkan buku Polemik Hadiah Magsaysay. 
1997:   Penyair Wiji Thukul diculik dan dibunuh. 
1998:   Pada  21  Mei  1998,  Soeharto  lengser  dari  jabatannya.  B.J.  Habibie
menggantikannya.  Terjadi  kerusuhan  13-14  Mei  1998,  yang  mengakibatkan
banyak  mal  yang  terbakar,  yang  menelan  banyak  korban  jiwa.  Perempuan
keturunan  Tionghoa  juga  banyak  yang  menjadi  korban  perkosaan.  Buku-buku
karya sastrawan Lekra bisa muncul ke permukaan. Ayu Utami mengibarkan sastra
yang  beraroma  seks  melalui  Saman.  Harian  Kompas  menyambutnya  dengan
istilah  sastra wangi . Majalah Tempo terbit kembali. 
1999:   Pemilu demokratis kedua yang diselenggarakan di Indonesia setelah Pemilu 1955.
PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri memperoleh suara
terbesar. Namun, yang terpilih menjadi presiden adalah K.H. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur).  
2000:  Korrie Layun Rampan mengumumkan adanya Angkatan 2000. H.B. Jassin
meninggal di Jakarta. Buku Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul terbit. 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   34  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
2001:  Mulai 2001, penghargaan Khatulistiwa Literary Award  (KLA) diberikan kepada
sastrawan  yang  menghasilkan  karya  sastra  terbaik.  Mereka  yang  pernah
mendapatkan  penghargaan  ini  antara  lain  Goenawan Mohamad,  Remy  Sylado,
Hamsad  Rangkuti,  Seno  Gumira  Ajidarma,  Linda  Christanty,  Sapardi  Djoko
Damono, Joko Pinurbo, Gus tf., Acep Zamzam Noor. 
2002:  Majalah Horison menerbitkan  buku Horison  Sastra  Indonesia  yang  terdiri  dari
empat kitab, yakni kitab puisi, cerpen, novel, dan drama. Dalam buku ini, Hamzah
Fansuri yang hidup di abad ke-17 dimasukkan sebagai sastrawan Indonesia yang
pertama. 
2003:   Sapardi Djoko Damono dan Ignas Kleden mendapat penghargaan Ahmad Bakrie
Award  karena  jasanya  di  bidang  kesusastraan  dan  pemikiran.  Sastrawan  dan
intelektual yang menerima penghargaan yang  sama pada  tahun-tahun berikutnya
adalah  Goenawan  Mohamad,  Nurcholish  Madjid,  Budi  Darma,  Sartono
Kartodirdjo.  Frans Magnis Soeseno  yang  seharusnya mendapatkan  penghargaan
tersebut menolak karena keterkaitan perusahaan Bakrie dengan bencana Lumpur
Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. 
2004:   Pemilihan  presiden  secara  langsung  yang  dilakukan  pertama  kali  di  Indonesia.
Soesilo Bambang Yudhoyono  terpilih sebagai presiden, mengalahkan Megawati.
Di  dunia  sastra,  para  sastrawan  muda  mendeklarasikan  lahirnya  generasi
sastrawan cyber. Sastra di internet merupakan terobosan baru bagi para sastrawan
untuk berekspresi dan mempublikasikan karyanya secara bebas. Novel Ayat-ayat
Cinta  karya  Habiburrahman  El  Shirazy  terbit.  Yayasan  Lontar
mendokumentasikan  biografi  sastrawan  Indonesia,  di  antaranya  Pramoedya
Ananta  Toer,  Agam  Wispi,  Ahmad  Tohari,  Umar  Kayam,  Sapardi  Djoko
Damono, Sutan Takdir Alisjahbana, Putu Oka Sukanta, dan lain-lain. Aktivis Hak
Asasi  Manusia  (HAM)  Munir  dibunuh.  Buku  Sastra  Indonesia  dalam  Enam
Pertanyaan karya Ignas Kleden terbit. 
2005:  Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata  terbit. Novel  ini dan novel Ayat-ayat
Cinta menjadi novel paling  laris  (best  seller)  dalam  sejarah  penerbitan  novel di
Indonesia. Kedua novel ini juga ditransformasi ke film. 
2006:  Yayasan Lontar menerbitkan Antologi Drama  Indonesia: 1895-2000. Penerbitan
buku  ini menunjukkan bahwa sejarah sastra Indonesia bukan dimulai pada 1920,
melainkan pada 1895. Anton Kurnia menerbitkan Ensiklopedi Sastra Dunia. 
2007:  Novel  Kalatidha  karya  Seno  Gumira  Ajidarma  terbit.  Buku  kumpulan  puisi
Otobiografi karya Saut Situmorang  terbit. Saut adalah salah satu sastrawan yang
menggerakkan sastra cyber, sastrawan Ode Kampung, dan majalah Boemipoetra. 
2008:  Buku-buku  Pramoedya Ananta Toer  yang  dicetak  ulang  dan  buku-buku  korban
tragedi  1965  yang  ingin  meluruskan  sejarah  marak  di  toko-toko  buku,  dan 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   35  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
menjadi buku  laris. Misalnya, Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya Ita F.
Nadia. 
Bibliografi
Adam, Asvi Warman. 2004. Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
Ajidarma, Seno Gumira. 2007. Kalatidha. Jakarta: Gramedia.
Ajoeb, Joebar. 2004. Sebuah Mocopat Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Teplok Press.
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1935.  Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru,  dalam 
Achdiat Kartamihardja. Polemik Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka.
Anwar, Chairil. 1990. Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia.
Aveling, Harry. 2003. Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998.
Magelang: Indonesiatera.
Braginsky, V.I. 1998. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam 
Abad 7-19. Jakarta: INIS.
Budiman, Arief. 2006. Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-
2005. Jakarta: Alvabet dan Freedom Institute.
Damono, Sapardi Djoko (ed.). 1987. HB Jassin 70 Tahun: Kumpulan Karangan. Jakarta: 
Gramedia.
_____. 1999a. Politik Ideologi dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus.
_____. 1999b. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Eneste, Pamusuk 1988. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Djambatan.
_____. 2001a. Bibliografi Sastra Indonesia. Magelang: Indonesia Tera.
_____. 2001b. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Kompas.
Faruk. 2002. Novel-Novel Indonesia Tradisi Balai Pustaka 1920-1942. Yogyakarta: 
Gama Media.
Foulcher, Keith. 1986. Social Commitment in Literature and The Arts: The Indonesian 
Institute People s Culture  1950-1965. Australia: Centre of Southeast Asian 
Studies, Monash University.
_____. 1988.  Roda yang Berputar: Beberapa Aspek Perkembangan Sastera Indonesia 
Sejak 1965,  dalam Prisma No. 8 Tahun XVII. Jakarta: LP3ES.
_____. 1991. Pujangga Baru: Kesusastraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942. 
Jakarta: Girimukti Pasaka.
_____. 1994. Angkatan 45: Sastra, Politik Kebudayaan dan Revolusi Indonesia. Jakarta: 
Jaringan Kerja Budaya.
_____. 2000. Sumpah Pemuda: Makna dan Proses Penciptaan atas Sebuah Simbol 
Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu.
Hadi W.M., Abdul. 1995. Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya. 
Bandung: Mizan.
Heryanto, Ariel. 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali.
_____. 1988.  Masihkah Politik Jadi Panglima: Politik Kesusastraan Indonesia 
Mutakhir,  dalam Prisma No. 8 Tahun XVII. Jakarta: LP3ES.
Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Terjemahan R.M. 
Soedarsono. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Horison. No. 9-10, Tahun XXVIII, edisi September-Oktober 1993.
_____. No. 6-10, Tahun XXX, edisi Oktober 1995. 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   36  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
Ismail, Taufiq dkk. 1995. Ketika Kata Ketika Warna. Jakarta: Yayasan Ananda.
_____. 2001. Horison Sastra Indonesia (empat jilid). Jakarta: Horison. 
Ismail, Yahaya. 1972. Pertumbuhan, Perkembangan, dan Kejatuhan Lekra di Indonesia: 
Satu Tinjauan dari Aspek Sosio-Budaya. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Jassin, H.B. 1968. Angkatan 66: Prosa dan Puisi. Jakarta: Gunung Agung.
_____. 1985. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Gunung Agung.
_____. 1987. Pujangga Baru: Prosa dan Puisi. Jakarta: Haji Masagung.
_____. 1993. Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang. Jakarta: Balai Pustaka.
Kartamihardja, Achdiat. 1998. Polemik Kebudayaan. Cet. III. Jakarta: Balai Pustaka.
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan 
Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia.
Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan. Jakarta: Freedom 
Institute dan Graffiti.
Kratz, Ernest Ulrich. 1987.  Data Statistik tentang Daerah Asal Para Pengarang 
Indonesia,  dalam Sapardi Djoko Damono (ed.). H.B. Jassin 70 Tahun. Jakarta:
Gramedia. 
_____. 1988. Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah: Drama, Prosa, Puisi. 
Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
_____. 2000. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.
_____. 1999. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
_____. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kurniawan, Eka. 2006. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Jakarta:
Gramedia.
Laksana, A.S. 1997. Polemik Hadiah Magsaysay. Jakarta: ISAI dan Jaringan Kerja 
Budaya.
McGlynn, John H. Et.al. 2002. Indonesian Heritage: Bahasa dan Sastra. Jakarta: Buku 
Antar Bangsa.
Moeljanto, DS dan Taufiq Ismail. 1995. Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI 
Dkk.. Bandung: Mizan.
Mohamad, Goenawan, 1993. Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: Pustaka Firdaus.
_____. 2002. Eksotopi: Tentang Kekuasaan, Tubuh, dan Identitas. Jakarta: Grafiti.
_____. 2003.  Paradigma Pengging  dalam Nancy K. Florida, Menyurat yang Silam, 
Menggurat yang Menjelang. Yogyakarta: Bentang.
_____. 2004. Setelah Revolusi Tak Ada Lagi. Jakarta: Alvabet.
Nadia, Ita F. 2008. Suara Perempuan Korban Tragedi 65. Yogyakarta: Galang Press.
Pane, Sanusi. 1935.  Persatuan Indonesia,  dalam Achdiat Kartamihardja. Polemik 
Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka.
Poerbatjaraka. 1935.  Sambungan Zaman,  dalam Achdiat Kartamihardja. Polemik 
Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional 
Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama 
Media. 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   37  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
Prisma,  Ilmuwan Jangan seperti Pohon Pisang: Pandangan Sartono Kartodirdjo,  No. 
10. Tahun XXIII, Oktober 1994.
Rendra. 1993. Potret Pembangunan dalam Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Ricklefs, MC. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Rosidi, Ajip. 1977. Laut Biru Langit Biru. Jakarta: Pustaka Jaya.
_____. 1986. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta.
_____. 1987. Puisi Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka Jaya.
_____. 1995. Sastera dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindonesiaan. Jakarta: Pustaka 
Jaya.
Salmon, Claudine. 1985. Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu. Jakarta: Balai 
Pustaka.
Sambodja, Asep. 1995.  Pertengkaran Semu,  dalam Sinar, 2 September. 
_____. 2005.  Dua Kiblat dalam Sastra Indonesia,  dalam Totok Suhardiyanto dkk. Dari 
Kampus ke Kamus: 65 Tahun Program Studi Indonesia. Depok: PSI FIB UI.
Sambodja, Asep dan Asih Nurhayati. 2000.  Pramoedya Ananta Toer: Kreativitas Saya 
Selesai Sampai di Sini,  dalam Satunet.com, 3 Maret.
Sani, Asrul. 1997. Surat-surat Kepercayaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sarwadi, H. 2004. Sejarah Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.
Sasongko, H.D. Haryo dan Melani Budianta. 2003. Menembus Tirai Asap: Kesaksian 
Tahanan Politik 1965. Jakarta: Amanah Lontar.
Shohifullah. 2002. Pramoedya Ananta Toer: Perahu yang Setia dalam Badai. 
Yogyakarta: Bukulaela.
Sikorsky, W. 1970. Tentang Sejarah Pembentukan Kesusastraan Indonesia Modern. 
Terj. Koesalah Soebagyo Toer. Moskwa: Mockva.
Siregar, Bakri. 1964. Sedjarah Sastera Indonesia Modern. Jakarta: Akademi Sastera dan 
Bahasa Multatuli.
Situmorang, Saut (ed.). 2004. Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk. Yogyakarta: 
Jendela.
Sumbogo, Priyono B. dan Ida Farida. 1991.  Zaman Isi dan Zaman Bahasa,  dalam 
Tempo, 13 April.
Suryadi Ag., Linus. 1987. Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern. Jakarta: 
Gramedia.
Suwarno, Adila dkk. 1996. Refleksi Kebudayaan. Jakarta: Panitia Dialog Terbuka 
Refleksi Kebudayaan.
Tanojo, Edwina Satmoko. 1981.  Ciri-ciri Bacaan Liar,  Skripsi. Depok: FSUI.
Teeuw, A. 1952. Pokok dan Tokoh dalam Kesusasteraan Indonesia Baru. Jakarta: 
Yayasan Pembangunan.
_____. 1980. Sastra Baru Indonesia I. Ende: Nusa Indah.
_____. 2989. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka Jaya.
_____. 1994. Indonesia: Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.
_____. 1997. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. 
Jakarta: Pustaka Jaya.
Tempo edisi khusus: Kebangkitan Nasional 1908-2008. Edisi 19-25 Mei 2008.
Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia. Jakarta:
Lentera Dipantara. 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   38  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
_____. 2003b. Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia. Jakarta: Lentera Dipantara.
Wasono, Sunu. 2007. Sastra Propaganda. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Wieringa, Saskia. 2003. Lubang Buaya. Jakarta: Metafor Publishing.
Wilson (ed). 2007. Kebenaran akan Terus Hidup. Jakarta: Yappika dan Ikohi.
Yudiono K.S. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Cet. II. 
Jakarta: Djambatan.  
Biografi Penulis
Asep Sambodja lahir di Solo, 15 September 1967. Lulus dari Program Studi
Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) Depok
pada 1993, dengan skripsi berjudul  Pariksit, Interlude, dan Asmaradana: Telaah Isi
Sajak-sajak Goenawan Mohamad .
Ia pernah bekerja sebagai wartawan di tabloid Bintang Indonesia, majalah Sinar,
majalah Ummat, tabloid Madani, media online Satunet.com, Otogenik.com, majalah
Fokus Indonesia, dan majalah sastra Imajio. Sejak 2005, ia menjadi dosen di
almamaternya, Program Studi Indonesia FIB UI. Buku terbaru yang ditulisnya adalah
Cara Mudah Menulis Fiksi (Jakarta: Bukupop, 2007).
Ia aktif menulis puisi. Sejumlah puisinya dimuat di beberapa media massa, antara
lain Media Indonesia dan Koran Tempo, serta dalam antologi puisi, yakni Graffiti
Gratitude (2001), Ini Sirkus Senyum (2002), Bisikan Kata, Teriakan Kota (2003), Dian
Sastro for President!: End of Trilogy (2005), Les Cyberlettres: Antologi Puisi Cyberpunk
(2005), Nubuat Labirin Luka: Antologi Puisi untuk Munir (2005), Mekar di Bumi (2006),
Jogja 5,9 Skala Richter (2006), dan Legasi: Antologi Puisi Nusantara (2006). Kumpulan
puisi tunggalnya adalah Menjelma Rahwana (Jakarta: Komunitas Bambu, 1999),
Kusampirkan Cintaku di Jemuran (Jakarta: Bukupop, 2006), dan Ballada Para Nabi
(Jakarta: Bukupop, 2007).
Ia juga menjadi editor kumpulan cerpen karya mahasiswa UI, yakni Batak is The
Best!  (2006; bersama Saeno M. Abdi), Tuhan buat Vasty (2007), dan Untukmu, Munir

(2008). Ia juga menulis cerpen. Salah satu cerpennya dimuat dalam antologi cerpen Batu
Merayu Rembulan (2003) yang dieditori Heri Latief. Ia pun menjadi salah satu editor
untuk buku Aceh Merdeka dalam Perdebatan (1999; bersama Tulus Widjanarko) dan
kumpulan esai Cyber Graffiti (2001). Pada 2005-2008 menjadi penyunting pelaksana di
Jurnal Susastra. Selain menjadi dosen di UI, ia juga menjadi editor di Penerbit Bukupop.
Esai-esainya dimuat di Republika dan Sinar Harapan. Beberapa esainya
dibukukan dalam Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk (2004), Dari Kampus ke
Kamus (2005), Kebenaran akan Terus Hidup (2007), dan Keindonesiaan dan
Kemelayuan dalam Sastra (2007).
Ia telah menulis dua skenario, yakni Air (2000) untuk film pendidikan di BIPA
FIBUI dan Rekonsiliasi (2003) untuk pementasan monolog (stand up comedy) Iwel Well
di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), 6 Maret 2004.
Bersama M. Yoesoev, ia menjadi Pembina Teater UI (2005-sekarang). Ia pernah
menyutradarai Teater UI untuk pementasan di Panggung Seni UKM, Malaysia, dengan
lakon  Khotbah  karya Rendra. 
Asep Sambodja, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX  / Hiski                       halaman   39  dari  39                                                                                                                          
Batu, 12   14 Agustus 2008 
Kini ia tinggal di Puri Bojong Lestari II, Jl. Puri Lestari 28 Blok WW/29 Citayam,
Depok 16920. Telepon rumah (021) 87987629, HP 08129421963. 
E-mail: asepsambodja@yahoo.com. 
Alamat blog: http://puisiduniaasepsambodja.blogs.friendster.com.    This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com.
The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.